"Theological Confrence for Pastors and Elders" Merupakan seminar Internasional. yang diselengarakan oleh pihak INDOMAS (Indonesia dan Malaysia) pada tanggal 26 - 29 Agustus 2015, bertempat di Season City Jl. Prof. dr. Latumenten No. 33, Grogol - Jakarta. dalam seminar tersebut membahas tema mengenai "Pentingnya theologia Inttegratif Bagi Identitas Pegangan dan Pengaruh Gereja Abad ke - 21 (Mengembalikan theologi Kepada Gereja). Seminar tersebut di isi oleh para nara sumber yang sudah kompeten dan profesional dalam bidangnya masing-masing. sehingga dalam setiap sesi masing - masing narasumber, memberikan materi yang sangat bermanfaat bagi para peserta seminar. http://instituttheologiaindonesia.com/theologia-conference-for-pastors-and-elders/#prettyPhoto
Kamis, 03 September 2015
Senin, 27 Juli 2015
MENJADI TELADAN
Buku Seri Pendidikan Agama Kristen “Menjadi Teladan” merupakan lanjutan dari buku seri “Menjadi Terang” yang sebelumnya dari kelas satu sampai kelas enam SD. Sedangkan
buku “Menjadi Teladan” di
peruntukan untuk Sekolah Menengah
Pertama dan sederejat. Buku “Menjadi
Teladan” memiliki keunggulan sebagai
berikut: 1) Kurikulum yang dipakai mengacu kepada KTSP (Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan) dengan berbasis karakter. 2) Ilustrasi unik dan menarik. 3)
Setiap pembelajaran diakhirti dengan ayat hafalan dan mendorong murid untuk
lebih aktif membaca Alkitab. 4) Cover buku
lebih representif sehingga sangat menarik bagi murid. 5) Maskot buku,
yang digambarkan oleh lima orang anak yang berangkulan menggambarkan
kebersamaan, kesatuan, keteladanan, dan rasa percaya diri untuk menatap masa
depan. 6) Metode Pengajaran Lebih Kreatif dan Alkitabiah serta terintegrasi
dengan mata pelajaran lainnya. 7) Elemen-Elemennya lebih mengaplikasikan nilai
budaya dan kearifan local Indonesia. Buku tersebut sangat bermanfaat sebagai
buku pegangan maupun buku panduan bagi pendidik dan anak didik’nya. Melalui buku
seri “Menjadi teladan” anak-anak yang mulai beranjak remaja akan dituntun
kepada iman yang bertumbuh dan menjadi teladan bagi anak-anak remaja lainya.***
Kamis, 23 Juli 2015
Mission for City
Buku "Mission for City" tersebut
Mengenalkan berbagai bentuk pelayanan dan rumusan dan strategi penginjilan di perkotaan, seperti, pelayanan media elektronika, pelayanan internet, pelayanan literatut, pelayanan teologi agama-agama, pelayanan gereja, pelayanan yayasan misi, pelayanan kaum kumuh, pelayanan mahasiswa, pelayanan cell, pelayanan anak, pelayanan remaja-pemuda, pelayanan waria-homo dan lesbi, pelayanan kaum wanita pria, dan pelyanan komunikasi.
Buku ini mengubah pemikiran: "Injil hanya di sebarkan dan berpengaruh di pedesaan dan suku-suku terasing, sedangkan perkotaan tidaak perlu. "justru buku ini memperlihatkan betapa pentingnya transformasi injil hidup di tengah perkotaan.
John Dawson pernah berkata "Kota adalah otak dan hati suatu bangsa. Bangsa merupakan jumlah dari kota-kotanya. jika kita memandang serius pemuridan bangsa-bangsa, maka kita harus memahami realitas kehidupan mereka. itu berarti bahwa Injil harus memberi warna baru pada kehidupan rohani filsafat, dan jasmani di dalam kota-kota suatu bangsa, mari kita kibarkan panji-panji Kristus di tempat-tempat kotor dan yang paling gelap. mari kita hadapi raksasa-raksa kota yang menghantui pikiran.
Floyd McClung mengatakan: "daerah perkotaan sebagai puncak gunung perubahan masyarakat, tempat ideologi dan mode pakaian datang dan pergi silih-berganti di tengah kancah peragian khalayak ramai." ***
Mengenalkan berbagai bentuk pelayanan dan rumusan dan strategi penginjilan di perkotaan, seperti, pelayanan media elektronika, pelayanan internet, pelayanan literatut, pelayanan teologi agama-agama, pelayanan gereja, pelayanan yayasan misi, pelayanan kaum kumuh, pelayanan mahasiswa, pelayanan cell, pelayanan anak, pelayanan remaja-pemuda, pelayanan waria-homo dan lesbi, pelayanan kaum wanita pria, dan pelyanan komunikasi.
Buku ini mengubah pemikiran: "Injil hanya di sebarkan dan berpengaruh di pedesaan dan suku-suku terasing, sedangkan perkotaan tidaak perlu. "justru buku ini memperlihatkan betapa pentingnya transformasi injil hidup di tengah perkotaan.
John Dawson pernah berkata "Kota adalah otak dan hati suatu bangsa. Bangsa merupakan jumlah dari kota-kotanya. jika kita memandang serius pemuridan bangsa-bangsa, maka kita harus memahami realitas kehidupan mereka. itu berarti bahwa Injil harus memberi warna baru pada kehidupan rohani filsafat, dan jasmani di dalam kota-kota suatu bangsa, mari kita kibarkan panji-panji Kristus di tempat-tempat kotor dan yang paling gelap. mari kita hadapi raksasa-raksa kota yang menghantui pikiran.
Floyd McClung mengatakan: "daerah perkotaan sebagai puncak gunung perubahan masyarakat, tempat ideologi dan mode pakaian datang dan pergi silih-berganti di tengah kancah peragian khalayak ramai." ***
Senin, 13 Juli 2015
Seri Menjadi Terang
1). Buku seri Pendidikan Agama Kristen Menjadi Terang untuk Sekolah Dasar dari kelas satu sampai kelas enam. Kurikulum yang dipakai mengacu pada KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dengan berbasis karakter. 2). Ilustrasi Unik dan menarik. 3). setiap pembelajaran diakhiri dengan hayat hafalan serta doa dan mendorong murid untuk lebih aktif membaca Alkitab. 4). Cover buku lebih representatif bagi murid. 5). Maskot buku, yaitu komodo merepresentasikan hewan kebanggaan Indonesia yang telah mendunia. 6). Metode Pengajaran lebih kreatif dan alkitabiah serta terintergrasi dengan mata pelajaran lainnya. 7). elemen-elemnya lebih mengaplikasikan nilai budaya dan kearifan lokal.
Buku tersebut sangat bagus untuk anak-anak belajar dirumah maupun di sekolah. karena akan bermanfaat menumbuhkan iman dan karakter sebagai anak-anak Terang.***
Minggu, 12 Juli 2015
Eksegese Perjanjian Lama
Buku "Eksegese Perjanjian Lama" merupakan buku panduan pengantar penelintian dan penafsiran Perjanjian Lama.
Penafsiran Alkitab adalah Ilmu biblika yang dapat ditafsirkan dengan pendekatan penelitian hermeneutika, eksegese atau eksposisi. penafsiaran Alkitab suatu penelitian hermeneutika, eksegese atau eksposisi. Penafsiran Alkitab suatu penelitian biblika yang bertujuan mengeluarkan makna teks. Penafsiran tersebut berkembang selama jaman Ezra, Yesus hingga era modern saat ini. tentu saja hingga saat ini sudah bermunculan berbagai metode penafsiran, tetapi tidak semua metode penelitian dapat digunakan karena ada penelitian yang digunakan kaum liberal dan kaum Injil. Kaum Injili menekankan otoritas Alkitab dengan pemikiran adalah Allah yang menulis Alkitab dengan perantara para nabinya, yang di urapi oleh Roh Kudus, Firman yang dalam Alkitab tidak ada satupun yang salah dan sudah sempurna dikerjakan oleh Allah. mencakup tetapi kaum Liberal memandang, Alkitab adalah buku bernilai moral yang sangat tinggi sehingga selalu ada kesalahan di sana-sisni, karea itu Akitab perlu diedit kembali (Kritik Redaksi).
Pekerjaan eksegese dilakukan secara integrasi mencakup pendekatan sebagai berikut: Kritik Teks, kritik sejarah, Kritik Tata bahasa, (sintak & gramatika), Kritik sastra, kritik bentuk, kritik tradisi, kritik redaksi, Kritik struktur, kritik kanonik, dan kritik nats. tetapi dalam buku ini penulis hanya mengguhnakan standar eksegese berdasarkan pekerjaan yang dilakukan World Biblical Comentary (WBC), yang Menckup: (1) Analisis Tekstual dan Terjemahan Penulis. (2) Analisis Konteks Histori. (3) Analisis Sintaksis dan Gramatika. (4) Analisa arti kata atau Word Studies atau leksikal. (5) Analisis Struktural (Bentuknya). buku ini di recomendasikan untuk para mahasiswa yanjg sedang menempuh studi dalam bidang seminasi sekolah teologi, karena buku ini akan sangat membantu dan mempermudah dalam mengerjakan eksegese Kitab Perjanjian Lama.***
Penafsiran Alkitab adalah Ilmu biblika yang dapat ditafsirkan dengan pendekatan penelitian hermeneutika, eksegese atau eksposisi. penafsiaran Alkitab suatu penelitian hermeneutika, eksegese atau eksposisi. Penafsiran Alkitab suatu penelitian biblika yang bertujuan mengeluarkan makna teks. Penafsiran tersebut berkembang selama jaman Ezra, Yesus hingga era modern saat ini. tentu saja hingga saat ini sudah bermunculan berbagai metode penafsiran, tetapi tidak semua metode penelitian dapat digunakan karena ada penelitian yang digunakan kaum liberal dan kaum Injil. Kaum Injili menekankan otoritas Alkitab dengan pemikiran adalah Allah yang menulis Alkitab dengan perantara para nabinya, yang di urapi oleh Roh Kudus, Firman yang dalam Alkitab tidak ada satupun yang salah dan sudah sempurna dikerjakan oleh Allah. mencakup tetapi kaum Liberal memandang, Alkitab adalah buku bernilai moral yang sangat tinggi sehingga selalu ada kesalahan di sana-sisni, karea itu Akitab perlu diedit kembali (Kritik Redaksi).
Pekerjaan eksegese dilakukan secara integrasi mencakup pendekatan sebagai berikut: Kritik Teks, kritik sejarah, Kritik Tata bahasa, (sintak & gramatika), Kritik sastra, kritik bentuk, kritik tradisi, kritik redaksi, Kritik struktur, kritik kanonik, dan kritik nats. tetapi dalam buku ini penulis hanya mengguhnakan standar eksegese berdasarkan pekerjaan yang dilakukan World Biblical Comentary (WBC), yang Menckup: (1) Analisis Tekstual dan Terjemahan Penulis. (2) Analisis Konteks Histori. (3) Analisis Sintaksis dan Gramatika. (4) Analisa arti kata atau Word Studies atau leksikal. (5) Analisis Struktural (Bentuknya). buku ini di recomendasikan untuk para mahasiswa yanjg sedang menempuh studi dalam bidang seminasi sekolah teologi, karena buku ini akan sangat membantu dan mempermudah dalam mengerjakan eksegese Kitab Perjanjian Lama.***
Metodologi Kuantitatif & Kualitatif
Penelitian Kuantitatif Banyak di pergunakan baik dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, dari fisika,biologi, pendidikan, , misiologi hingga jurnalisme. pendekatan ini juga digunakan sebagai cara untuk meneliti berbagai aspek dari pendidikan. istilah penelitian kuantitatif sering digunakan dalam ilmu-ilmu sosial untuk membedakannya dengan kualitatif.
penelitian kualitatif di gunakan di bidang sosial dan humaniora, sosiologi, pendidikan, misiologi, antropologi, psiokologi, ilmu politik, termasuk studi biblika (tafsi-hemeneutik), teologi dan filsafat agama. untuk bidang-bidang disiplin diatas dirancang dengan penelitian adalah : Grounded Theori, Etnografi, Fenomenologi, Studi Kasus, Penelitian dengan pendekatan Biografi, penelitian Partisif, Penelitian Klinis, penelitian Biblika (Penerjemahan, Kritik Teks. Kritik Sumber, kritik bentuk, Kritik Redaksi, kritik Retorik, Kritik Naratif, Kritik Sosial, Penyelidikan Alkitab). Penelitian Teologi dan Filsafat Agama, Penelitian Teologi Sitematik, penelitian Teologi pratika atau Pastoral, Studi Kasus Pastoral, penelitian Filsafat Agama, dan Penelitian Teologi Kontekstual.***
penelitian kualitatif di gunakan di bidang sosial dan humaniora, sosiologi, pendidikan, misiologi, antropologi, psiokologi, ilmu politik, termasuk studi biblika (tafsi-hemeneutik), teologi dan filsafat agama. untuk bidang-bidang disiplin diatas dirancang dengan penelitian adalah : Grounded Theori, Etnografi, Fenomenologi, Studi Kasus, Penelitian dengan pendekatan Biografi, penelitian Partisif, Penelitian Klinis, penelitian Biblika (Penerjemahan, Kritik Teks. Kritik Sumber, kritik bentuk, Kritik Redaksi, kritik Retorik, Kritik Naratif, Kritik Sosial, Penyelidikan Alkitab). Penelitian Teologi dan Filsafat Agama, Penelitian Teologi Sitematik, penelitian Teologi pratika atau Pastoral, Studi Kasus Pastoral, penelitian Filsafat Agama, dan Penelitian Teologi Kontekstual.***
Rabu, 01 Juli 2015
Karakter Yang di Perbaharui
Memiliki karakter yang di perbaharui di dalam Tuhan haruslah menjadi tujuan hidup orang percaya. Namun, untuk memiliki karakter yang demikian memerlukan pemahaman firman Tuhan yang benar. kemudian, hal itu wajib ditindaklanjuti dengan mempraktikan apa yang sudah di pahami itu dalam kehidupan sehari-hari. Memang ada ungkapan, "Mehami mudah, tetapi mempraktikan sulit." akan tetapi, praktik adalah latihan. tidak ada latihan yang sulit bila di jadikan kebiasaan. Oleh karena itu, adalah bijak jika orang percaya tidak sekedar menjadikan firman Tuhan sebagai suatu praktik yang sulit baginya, tetapi justru menjadikannya kebiasaan dalam kehidupan.
buku kecil ini berisi 41 refleksi motivasional yang akan mengingatkan, mengajak dan meneguhkan kembali kebiasaan hidup kita dalam firman Tuhan, yang akan membuat kita memiliki "karakter yang diperbaharui di dalam Tuhan".***
buku kecil ini berisi 41 refleksi motivasional yang akan mengingatkan, mengajak dan meneguhkan kembali kebiasaan hidup kita dalam firman Tuhan, yang akan membuat kita memiliki "karakter yang diperbaharui di dalam Tuhan".***
Selasa, 30 Juni 2015
PRAGMATISME PENDIDIKAN DALAM KONTEKS
Oleh Harianto GP
Abstrak
Pragmatisme
adalah sistem filsafat yang digunakan dalam pertumbuhan dan perkembangan
pendidikan di Indonesia. Filsafat menggunakan beberapa metode yaitu
contemplative, speculative, dan deduktive. Dalam proses pendidikan pragmatisme
tercakup beberapa hal yaitu tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, metode
pendidikan, pendidik dan anak didik. Proses ini perlu disesuaikan dengan
konteks budaya yang ada di setiap daerah dengan standar pendidikan yang sama.
Hal ini dilakukan agar mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang
berkualias tanpa beradaptasi dengan budaya yang berbeda-beda.
Kata
Kunci: Pragmatisme, filsafat, pendidikan, konteks.
PENDAHULUAN
Pragmatisme
merupakan sistem filsafat yang dapat
menjadi peluang bagi pertumbuhan dunia pendidikan di Indonesia. Pragmatisme
yang belajar dan berkembang berdasar pengalaman sangatlah potensi bila
diterapkan dalam konteks pendidikan di Indonesia. Hal tersebut mengingat bahwa
perkembangan pendidikan di Indonesia yang selalu berubah-ubah dan tidak
menentu, sehingga perlunya belajar dari pengalaman. Misalnya ketidakteraturan
pendidikan di Indonesia adalah adanya Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK)
atau Kurikulum 2004, diubah-ubah
mengganti kurikulum tahun 1994. Kurikulum tersebut adalah kurikulum yang
diterapkan sejak tahun 2004 walau
sudah ada sekolah yang
mulai menggunakan kurikulum ini sejak sebelum diterapkannya. Secara materi,
sebenarnya kurikulum ini tak berbeda dari Kurikulum 1994,
perbedaannya hanya pada cara para murid belajar di kelas.
Dalam
kurikulum terdahulu, para murid dikondisikan dengan sistem caturwulan. Sedangkan dalam kurikulum
baru ini, para siswa dikondisikan dalam sistem semester. Dahulu pun, para murid hanya belajar pada isi materi
pelajaran belaka, yakni menerima materi dari guru saja. Dalam kurikulum 2004
ini, para murid dituntut aktif mengembangkan keterampilan untuk menerapkan
Iptek tanpa meninggalkan kerja sama dan solidaritas, meski sesungguhnya antar
siswa saling berkompetisi. Jadi di sini, guru hanya bertindak sebagai
fasilitator, namun meski begitu pendidikan yang ada ialah pendidikan untuk
semua. Dalam kegiatan di kelas, para siswa bukan lagi objek, namun subjek. Dan
setiap kegiatan siswa ada nilainya. Tetapi, sejak tahun ajaran 2006/2007,
diberlakukan kurikulum baru yang bernama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yang merupakan penyempurnaan Kurikulum 2004.
Dengan berganti-gantinya kurikulum tersebut, membuat
ketidakstabilan kualitas pendidikan di negeri ini. Mestinya negeri ini belajar
dari pengalaman bahwa bagaimana dampak-dampak kurikulum yang tidak stabil yang
tidak mengguntungkan perlu disempurnakan. Bersangkutan dengan hal tersebut,
maka sistem pragmatisme menjadi pendekatan pendidikan konteks Indonesia sangat
dibutuhkan. Pragmatisme adalah “experience” (pengalaman).[1] Pengalaman itu apa yang diperbuat manusia, dilakukan,
dan dipikirkan. Dalam hal ini, maka John Dewey mengatakan bahwa
pengalaman adalah “body of information and skills we apply intelligently to
inquiry”.[2]
Tetapi, George R. Geiger mengatakan kunci pragmatisme adalah teori
pengetahuan dan nilai.[3]
DASAR-DASAR
FILSAFAT
Pengertian Filsafat
Filsafat
berasal dari dua istilah Yunani “philos” dan “sophia”, yang berarti “cinta
kebijaksanaan”; “cinta akan hikmat”; “cinta akan pengetahuan”. Seorang “filsuf”
adalah seorang “pencinta”, “pencari” (philos)
hikmat atau pengetahuan (sophia).[4]
Karena kecintaan, keinginan atau kerinduannya orang berupaya mencari, menggali
dan merumuskan kebenaran. Kebenaran hal ini menyangkut pertanyaan-pertanyaan
tentang makna dan tujuan hidup yang paling hakiki (the quest of life).[5]
Selanjutnya dengan kehidupan atau perkembangan peradaban manusia dan problema
kehidupan yang dihadapinya, maka pengertian yang bersifat teoris seperti yang dilahirkan filsafat Yunani di atas
kehilangan kemampuannya untuk memberi jawaban yang layak tentang kebenaran itu.
Peradaban itu telah menyebabkan manusia melakukan loncatan besar dalam bidang
sains, teknologi, kedokteran dan pendidikan.[6]
Manusia
Eropa pada abad pertengahan hidup dalam kesadaran bahwa kenyataan bersifat sakramental, artinya
merupakan tanda dan lambang mengenai kenyataan ilahi. Itulah pengalaman
hidupnya. Berbeda dengan waktu Renaissance timbullah pengalaman bahwa kenyataan
itu merupakan dunia kebendaan, materi, yang hakekatnya bersifat matematis,
dapat digariskan, dipatoki dengan jelas dan cermat.[7]
Dari sini filsafat menjadi
pengalaman kehidupan sehari-hari. Filsafat dapat “mengkodratkan” pengalaman dan
menjadikannya kesadaran dalam satu sistem.[8]
Berkaitan dengan konsep filsafat di atas, maka George
Knight menjabarkan lebih jelas. Ia merumuskan bahwa filsafat memiliki tiga
dimensi sebagai berikut: pertama, sebagai “subject matter” atau
konsep: filsafat mempelajari
masalah-masalah metafisika (apa yang nyata), epistemology (pengetahuan dan
bagaimana mengetahui), dan aksiologi (nilai, etika dan keindahan). Kedua, sebagai kegiatan: filsafat
menempuh langkah-langkah analisis, sintesis, spekulatif dan preskriptif. Ketiga, filsafat melibatkan sikap (attitude): kesadaran diri,
penetratif, komprehensif, dan fleksibilitas.[9] Jadi,
filsafat adalah kegiatan yang senantiasa bertujuan untuk membentuk atau
merumuskan “pandangan dunia” (worldview)
dalam rangka mencari hikmat atau pengetahuan.
Metode
Filsafat
Filsafat
mempergunakan banyak cara, berbagai metode, dan multi metode. Metode berasal
dari perkataan Yunani “Methodos”, yang artinya: (1) sesuatu prosedur yang
dipakai untuk mencapai sesuatu tujuan; (2) sesuatu teknik mengetahui yang
dipakai dalam proses mencari ilmu pengetahuan dari sesuatu materi tertentu; (3)
sesuatu ilmu yang merumuskan aturan-aturan dari suatu prosedur.[10]
Mohammad Noor Syam mengatakan ada beberapa metode filsafat sebagai berikut: pertama, contemplative (perenungan). Merenung berarti memikirkan sesuatu,
atau segala sesuatu, tanpa keharusan adanya kontak langsung dengan obyeknya.
Obyek perenungan dapat berupa apa saja, misalnya tentang makna hidup, mati,
kebenaran, keadilan, keindahan dan sebagainya.
Hal ini cara filsafat untuk memikirkan segalanya secara mendalam. Kedua,
speculative (perenungan atau merenung). Merenung lebih mendalam untuk
mencari hakekat ilmu dengan pikiran yang tenang, kritis, pikiran murni dan
cenderung menganalisa, menghubungkan antara masalah, dan berulang-ulang sampai
mantap. Ketiga, deductive. Metode deductive adalah berpikir dan
penyelidikan ilmiah umumnya menggunakan metode induktif. Proses induktif adalah
penyelidikan berdasarkan eksperimen yang dimulai dari obyek yang khusus untuk
mendapat kesimpulan yang bersifat umum.[11]
Ruang
Lingkup Kajian Filsafat
Dari
definisi “filsafat” di atas, maka ruang lingkup kajian filsafat filsafat dapat
diartikan sebagai aktifitas pikiran teratur
yang membentuk worldview seseorang sebagai jalan untuk mengatur,
menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.
Jadi, filsafat menggambarkan satu aspek dari aspek-aspek
pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip dan
kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan
persoalan pendidikan secara praktis.
Bila
diberi contoh kaitannya dengan pendidikan, maka Donald Butler mengatakan bahwa
filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktek pendidikan, sedangkan
praktek pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan
filosofis. Keduanya sangat berkaitan erat.[12] Berkaitan dengan hal tersebut, maka John
Dewey mengatakan filsafat merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang
fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan
(emosional), menuju ke arah karakter manusia, maka filsafat bisa juga diartikan
“sebagai teori umum pendidikan”.[13]
Metode
Filsafat Pendidikan
Dalam
dunia pendidikan dikenal istilah “paedagogie” artinya “pendidikan” dan istilah
“paedagogiek” artinya ilmu pendidikan. Pedagogik atau ilmu pendidikan ialah
ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan
mendidik. Pedagogik berasal dari kata
Yunani “paedagogia” yang berarti “pergaulan dengan anak-anak”. Paedagogos (paedos “anak”; agoge “saya membimbing,
memimpin”) ialah seorang pelayan dalam zaman Yunani kuno, yang pekerjaannya
mengantar dan menjemput anak-anak ke dan dari sekolah. Juga di rumahnya, anak-anak tersebut selalu
dalam pengawasan dan penjagaan dari
para paedagogos itu. Jadi nyatalah bahwa
pendidikan anak-anak Yunani kuno sebagian dibesar dan diserahkan kepada
paedagogos.[14] Sedangkan dalam kata Latin terdiri dari kata “educare” artinya “merawat, memperlengkapi dengan gizi,
agar sehat dan kuat” dan kata “educere” artinya “membimbing keluar dari”.
Dalam Ensiklopedi
Pendidikan (1982) secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai
“semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya,
pengalamannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai
usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun
rohaniah”. Penegasan itu menyatakan
bahwa pendidikan merupakan usaha atau upaya sadar tujuan, atau bersahaja, dan
karena itu, ia menuntut perencanaan, strategi atau pendekatan.[15]
Berkaitan di atas, B.S. Mardiaatmadja
mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu usaha bersama dalam proses terpadu-terorganisir untuk membantu
manusia mengembangkan diri dan menyiapkan diri
guna mengambil tempat semestinya dalam pengembangan masyarakat dan
dunianya di hadapan Sang Pencita.[16]
Ngalim Purwanto juga mendefinisikan bahwa pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya
dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah
kedewasaan atau agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.[17] Poerbakawatja juga sependapat dengan definisi
pendidikan yang sebelumnya adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa yang
mana dengan pengaruhnya meningkatkan kedewasaan dari anak yang selalu diartikan
kemampuan untuk memikul tanggung jawab moril dari segala perbuatannya.[18]
Jadi, pendidikan secara menyeluruh menyangkut segala segi hidup manusia. John
Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai proses pembentukan kemampuan
dasar yang fundamental, yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya rasa
(emosi) manusia.[19]
DASAR-DASAR
FILSAFAT PENDIDIKAN
Ontologi
(Metafisika)
Metafisika berasal dari bahasa Yunani Kuno, yang
terdiri dari dua kata “meta” dan “fisika”. Meta berarti “sesudah di belakang”,
atau “melampaui”, dan “fisika” berarti alam nyata. Istilah metafisika merupakan
judul yang diberikan oleh Andronikos dari Rhodes terhadap empat belas buku yang
ditulis oleh Aristoteles, yang ditempatkan sesudah fisika yang terdiri dari
delapan buku. Aristoteles sendiri tidak menggunakan istilah metafisika dan
fisika, melainkan “filsafat pertama untuk metafisika” dan “filsafat kedua untuk
fisika”.[20]
Kata “metafisika” itu saat ini
memiliki berbagai arti. Metafisika bisa berarti upaya untuk mengkarakterisasi
eksistensi atau realitas sebagai suatu keseluruhan, atau berarti sebagai usaha
untuk menyelidiki alam yang berada di luar pengalaman atau menyelidiki apakah
hakikat yang berada di balik realitas. Tetapi secara umum, metafisika menunjuk
pada arti suatu pembahasan filsafati yang komprehensif mengenai seluruh
realitas atau tentang segala sesuatu yang ada.
Metafisika dibagi menjadi dua
sebagai berikut: metafisika umum (ontologi) dan metafisika khusus (kosmologi,
teologi metafisik, dan filsafat antropologi).[21] Ontolongi membahas tentang teori umum
mengenai semua hal, sedangkan metafisika khusus membahas esensi dari yang ada,
hakikat dari segala wujud yang ada: siapa manusia, dari mana asal usulnya, apa
yang dituju manusia, dan untuk apa hidup di dunia ini.[22]
Pembahasan ontologi dilakukan
dengan membedakan dan memisahkan eksistensi “dari segala sesuatu”.
Pertanyaan-pertanyaan ontologi yang utama dan paling sering diajukan adalah
sebagai berikut: apakah suatu realitas itu beraneka ragam dan berbeda-beda?
Apakah hakekatnya satu atau tidak? Apabila
memang benar satu, apakah realitas yang satu itu.apakah eksistensi yang
sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada itu merupakan realitas yang tampak
atau tidak?
Ada tiga teori ontologis[23] antara lain: Pertama, idealisme, teori ini
mengajarkan bahwa ada yang sesungguhnya berada di dunia ide. Segala sesuatu
yang tampak dan mewujudkan nyata dalam alam indrawi hanya merupakan gambaran
atau bayangan dari yang sesungguhnya yang berada di dunia ide. Kedua, materialisme menolak hal-hal
yang tidak kelihatan. Bagi materialisme, ada yang sesungguhnya adalah yang
keberadaannya semata-mata bersifat material atau sama sekali tidak bergantung
pada material. Jadi realitas sesungguhnya adalah alam kebendaan dan segala
sesuatu yang mengatasi alam kebendaan itu haruslah dikesampingkan.[24] Ketiga,
dualisme mengajarkan bahwa substansi individual terdiri dari dua fundamental
yang berbeda dan tak dapat direduksikan kepada yang lainnya. Kedua tipe
fundamentalis dari substansional itu ialah material dan mental.[25] Dengan demikian dualisme
mengakui bahwa realitas terdiri dari materi atau yang ada secara fisis dan
mental atau yang beradanya tidak kelihatan secara fisis. Dualisme harus
dibedakan dari monisme dan pluralisme. Monisme dan Pluralisme adalah teori
tentang jumlah substansi dan bukan mempersoalkan tipe fundamental dari
substansi itu.
Epistemologi
Istilah
“epistemologi” berasal dari bahasa Yunani Kuno, dengan asal kata “episteme”
yang berarti “pengetahuan” dan “logos” (kata, pikiran, percakapan atau ilmu),
yang berarti “teori”. Secara etimologi, epistemologi berarti teori pengetahuan.
Epistemologi membahas atau mengkaji tentang asal, struktur, metoda, serta
keabsahan pengetahuan.[26]
Jadi, epistemologi berarti kata, pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau
ilmu pengetahuan. Sedangkan,
secara tradisional yang menjadi pokok persoalan epistemologi ialah sumber,
asal-usul, sifat dasar pengetahuan; bidang, batas, dan jangkauan
pengetahuan; serta validitas dan
reliabilitas (reability) dari
berbagai klaim pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa
diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan dalam epistemologi
adalah sebagai berikut: Apa pengetahuan
itu? Apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan itu? Apakah pengetahuan
itu berasal dari pengamatan, pengalaman, atau akal budi? Apakah pengetahuan itu
adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan?[27]
Jika dikatakan bahwa seseorang
mengetahui sesuatu, itu berarti ia memiliki pengetahuan tentang sesuatu
itu. Dengan demikian, pengetahuan adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjuk
kepada apa yang diketahui oleh seseorang tentang sesuatu. Pengetahuan memiliki
subyek yaitu yang mengetahui, karena tanpa ada yang mengetahui tidak mungkin
ada pengetahuan. Jika ada subyek, pasti ada obyeknya, yakni sesuatu hal
yang seseorang ketahui atau dihendaki
untuk diketahui.
Pengetahuan dibagi dalam tiga jenis
yaitu: Pertama, pengetahuan biasa (ordinary knowledge). Kedua,
pengetahuan ilmiah (scientific knowledge).
Ketiga, pengetahuan filsafat (philosophical
knowledge). [28]
Berkaitan hal tersebut, maka sumber utama pengetahuan bisa bersumber dari akal
budi atau rasio.[29]
Aksiologi
Secara
etimologi, istilah “aksiologi” berasal dari bahasa Yunani Kuno, terdiri dari
kata “aksios” yang berarti “nilai” dan kata “logos” yang berarti “teori”. Aksiologi mempelajari
nilai. Jadi, aksiologi adalah teori nilai yang membahas hekikat nilai, tipe
nilai, kriteria nilai, dan status metafisika nilai.[30]
Bagi Louis Kattsoff bahwa nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat
didefinisikan dan sebagai obyek suatu kepentingan.[31]
Meskipun begitu, nilai mempunyai macam makna sebagai berikut: (1) mengandung
nilai (artinya, berguna); (2) merupakan nilai (artinya, “baik” atau “benar”
atau “indah”); (3) mempunyai nilai (artinya, merupakan obyek keinginan,
mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap “menyetujui”,
atau mempunyai sifat nilai tertentu); (4) memberi nilai (artinya, menanggapi
sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai
tertentu).[32]
Berkaitan dengan makna nilai, maka timbul beberapa pertanyaan:
Apakah yang dinamakan nilai itu? Apakah yang menyebabkan bahwa suatu obyek atau
perbuatan bernilai, dan bagaimanakah cara mengetahui? Bilamanakah sebutan nilai
dapat diterapkan? Proses kejiwaan apakah yang tersangkut dalam
tanggapan-tanggapan penilaian? Bagaimanakah cara menentukan makna-makna yang
dikandungnya serta verifikasi yang dapat dilakukan terhadapnya?
Nilai
suatu obyek sangat dipengaruhi oleh nilai subyek yang ada. Manusia memiliki nilai, sehingga nilai
seseorang dari apa yang diungkapkan maupun dilakukan. Nilai-nilai sangat
relative, tetapi ada nilai yang jauh lebih mutlak dan ditempat tinggi dibanding
dengan nilai-nilai relative yang dibawah. Manusia berbuat baik karena
mengetahui nilai yang ada pada dirinya. Pada aksiologi yang mengarah suatu
kebaikan yang tertinggi berupa kebahagiaan dan cinta kasih Tuhan.[33]
PRAGMATISME PENDIDIKAN yang kontekstual
Pengertian
Pragmatisme
Pragmatisme[34]
merupakan sistem filsafat yang dibangun 100 tahun lalu dipandang sebagai filsafat Amerika asli. George F. Kneller mengatakan sebagai filsafat
pribumi orang-orang Amerika.[35]
Sebenarnya bahwa pragmatisme berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang
berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami.[36]
Pragmatisme berasal dari akar kata bahasa Yunani, artinya
“work”. Banyak definisi yang muncul, antara lain
sebagai berikut: Pragmatisme adalah “a
philosophy that encourages us to seek out the processes and do the things that
work best to help us achieve desirable ends”.[37]
William James mendefinisikan sebagai “the
attitude of looking away from first things, principles, categoies, supposed
necessities; and of looking towards last things, fruits, consequences, facts”.[38] Sedangkan Charles
S. Pierce mengatakan bahwa pragmatisme merupakan kesatuan kerja antara pikiran,
perbuatan, dan intelek. Ia mengatakan: “pikiran itu hanya berguna bagi manusia
apabila pikiran itu “bekerja” yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya.
Fungsi berpikir tidak lain daripada membiasakan manusia untuk berbuat. Perasaan
dan gerak jasmaniah (perbuatan) adalah manifestasi-manifestasi yang khas dari
aktivitas manusia, dan kedua hal itu dapat dipisahkan dari kegiatan intelek
(berpikir). Jika dipisahkan, perasaan dan perbuatan menjadi abstrak dan
menyesatkan manusia.[39]
Berkaitan
hal ini, George R. Knight mengatakan bahwa pragmatisme menekankan pada
pengetahuan yang empiris, merubah dunia bersama persoalan-persoalannya, dan
sifatnya sebagai “all inclusive reality beyond which their faith in science would not allow
them to go”.[40]
Realitas,
Pengetahuan, dan Nilai
Ada
beberapa hal yang menjadi puncak pemikiran pragmatisme adalah: realitas,
pengetahuan dan nilai. “Realitas” merupakan interaksi antara manusia dengan
lingkungannya. Manusia dan lingkungannya berdampingan, dan memiliki tanggung
jawab yang sama terhadap realita. Dunia akan bermakna sejauh
manusia mempelajari makna yang
terkandung di dalamnya. Perubahan merupakan esensi realitas, dan manusia harus
siap mengubah cara-cara yang akan dikerjakannya. Manusia pada hakekatnya
plastis dan dapat berubah. “Pengetahuan”
merupakan akal manusia aktif dan selalu ingin meneliti, tidak pasif dan
tidak begitu saja menerima pandangan tertentu yang belum dibuktikan
kebenarannya secara empirirs. Pikiran (rasio) tidak bertentangan dan tidak
terpisah dari dunia, melainkan merupakan bagian dari dunia. “Nilai” itu relative. Keindahan-keindahan moral dan
etik tidak tetap, melainkan harus berubah, seperti perubahan kebudayaan dan
masyarakat. Pragmatis menyarankan untuk menguji kualias nilai dengan cara yang
sama seperti seseorang menguji kebenaran pengetahuan dengan metode
empiris. Nilai moral maupun etis akan
terlihat dari perbuatannya, bukan dari segi teorinya. Jadi pendekatan nilai adalah
cara empiris berdasarkan pengalaman-pengalaman manusia, khususnya kehidupan
sehari-hari.[41] Berkaitan
hal tersebut, maka George Kneller mengatakan ada empat point prinsip
pragmatisme sebaga berikut: (1) the
reaity of change, (2) the essentially
social and biological nature of man, (3) the relativity of values, dan (4) the use of critical intelligence.[42]
Selanjutnya
Redja Mudyahardjo menguraikan tentang filsafat pragmatisme mencakup sebagai
berikut: pertama, metafisika dengan
catatan: (1) Anti metafisika: suatu teori umum tentang kenyataan tidaklah
mungkin dan juga tidak perlu. (2) Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan
fisik. (3) Segala sesuatu dalam alam dan kehidupan adalah berubah. Hakikat
segala sesuatu adalah perubahan itu sendiri. (4) Hidup adalah sebuah proses
pembaharuan diri sendiri yang terus berlangsung dalam interaksinya dengan
lingkungan. Kedua, adalah
epistemology, mencakup: (a) Pengetahuan adalah relatif, dan terus berkembang.
Pengetahuan yang benar diperoleh melalui pengalaman. (b) Karakteristik
pengalaman adalah pengalaman pertama-tama merupakan peristiwa pasif-aktif, dan
mengukuran nilai suatu pengalaman terletak pada persepsi hubungan-hubungan atau
kontinuitas-kontinuitas yang menyebabkan pengalaman tersebut meningkat. (c)
Pengetahuan yang benar adalah pengalaman yang berguna kehidupan. Ketiga, adalah aksiologi adalah ukuran
tingkah laku perseorangan dan sosial ditentukan secara eksperimental dalam
pengalaman-pengalaman hidup. Dengan demikian tidak ada nilai absolute.[43]
Kebenaran
Teori
Pragmatisme (pragmatism theory)
merupakan salah satu dari teori kebenaran.
Pragmatisme berpendapat bahwa
kebenaran tidak bisa bersesuaian dengan kenyataan, sebab seseorang hanya bisa
mengetahui dari pengalamannya saja. Pragmatisme berpendirian bahwa mereka tidak
mengetahui apapun (agnostik) tentang
wujud, esensi, intelektualitas, dan rasionalitas. Oleh karena itu, pragmatisme
menentang otoritarianisme, intelektualisme, dan rasionalisme. Penganut
pragmatisme merupakan penganut empirisme yang fanatik untuk memberikan
interpretasi terhadap pengalaman. Menurut pragmatisme, tidak ada kebenaran yang
mutlak dan abadi. Kerbenaran ini dibuat dalam proses penyesuaian manusia.[44] Schiller, pengikut pragmatisme di Inggris,
mengemukakan bahwa kebenaran merupakan suatu bentuk nilai, artinya apabila
seseorang menyatakan benar terhadap sesuatu, berarti ia memberikan penilaian
terhadapnya. Istilah benar adalah suatu pernyataan yang berguna, sedangkan
istilah salah merupakan pernyataan yang tidak berguna.[45]Ernest
E. Bayles mengatakan kebenaran adalah “one
of the great concerns of man is to obtain insights that are true”[46]
tetapi kebenaran harus diuji melalui interaksi dan melalui pengalaman.
Teori Pragmatis tentang kebenaran mengatakan
bahwa sesuatu itu dianggap benar jika berdasarkan nilai manfaat dari
pengetahuan atau kebenaran itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Contoh:
orang perlu percaya kepada Yesus karena ada dampak dalam kehidupan. Yesus
membuat mampu orang yang percaya menghadapi masalah secara berkemenangan.
Proses
Pendidikan
Pemahaman-pemahaman
pendidikan di atas, bagi pragmatisme, perlu melalui proses pendidikan dengan
memperhatikan dua segi, yaitu: psikologi dan sosiologis. Dari segi psikologis,
pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak
didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti yang berpengaruh di Amerika,
yaitu psikologis, pendidik harus mengetahui ke mana tenaga-tenaga itu harus
dibimbingnya. Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga itu harus diabadikan pada
kehidupan sosial, jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan adalah sosial
dan sekolah adalah suatu lembaga sosial. Pendidikan adalah alat kebudayaan yang
paling baik. Dengan pendidikan sebagai alat, manusia dapat menjadi “The Master,
not the slaves of social as well as other kinds of natural change”.[47]
Kedudukan
Pendidikan
Pragmatisme mempunyai
model-model kedudukan pendidikan. Dewey melihat bahwa kedudukan pendidikan bisa
dilihat dari berbagai model sebagai berikut:[48] Pertama, adalah education as a necessity of life. Pendidikan berorientasi kepada
kebutuhan hidup anak didik. Kedua, education as a social fungstion. Pendidikan menyiapkan anak didik dewasa hidup
di tengah sosialnya. Ketiga,
adalah education as direction. Pendidikan mengarahkan pencapaian tujuan
anak didik pada kehidupan masa depan yang telah direncanakan. Keempat, education as growth. Pendidikan mengarahkan anak didik menjadi
bertumbuh dalam segala hal khusunya dalam aspek psikologis dan sosiologis. Kelima,
adalah education as preparation.
Pendidikan membentuk karakter-karakater yang lemah menjadi kuat dan yang kuat
menjadi berprestasi. Keenam,
adalah education as unfolding. Pendidikan yang menjadikan anak didik
berkembang dengan sendirinya. Ketujuh, adalah education as training of faculties. Pendidikan
yang menyiapkan sumber daya staf. Kedelapan,
adalah education as formation.
Pendidikan yang membentuk formasi yang
dibutuhkan oleh tujuan pendidikan. Kesembilan,
adalah education as recapitulation and
retrospection. Pendidikan yang mengarhkan kepada pemikirna-pemikiran
reflektif. Kesepuluh, adalah education
as reconstruction. Pendidika yang mengarahkan pembangunan kembali
dasar-dasar yang dimaksud oleh tujuan pendidikan. Kesebelas, adalah education
as national and as social. Pendidikan yang menyiapkan anak didik siap
mandiri di tengah masyarakat atau sosialnya.
Proses Pendidikan Pragmatisme
Proses
pendidikan pragmatisme mencakup beberapa hal sebagai berikut: tujuan
pendidikan, kurikulum pendidikan, metode pendidikan, pendidik dan anak didik.
Tujuan
Pendidikan
Dewey
dan paragmatist percaya bahwa “education is necessity of life”. Pendidikan
bukan mempersiapkan seseorang untuk hidup tetapi ia sendiri adalah hidup. Hidup anak-anak sebagai anak-anak dan hidup
orang dewasa sebagai orang dewasa. Pendidikan membuat anak-anak hidup dalam
lingkungannya dan pendidikan orang
dewasa membuat dirinya tertarik dan memotivasi lingkungannya. Tujuan
pragmatisme menolong anak atau orang dewasa menguasai motivasi diri yang tinggi
dan menaklukan lingkungannya. Dengan demikian bahwa pendidikan dapat
menyelesaikan masalah-masalah lingkungan yang muncul menghadangnya. Pendidikan
dapat melakukan transmitted dari
generasi ke generasi melalui komunikasi lingkungan, aktifitas, pemikiran dan
perasaan dari yang tua ke yang muda.[49]
Sidney Hook merumuskan tujuan pendidikan adalah pendidikan untuk bertumbuh
bersama dalam masyarakat demokrasi.[50]
William
Heard mengatakan bahwa tujuan pendidikan: Pertama,
adalah mempersiapkan kesempatan untuk hidup. Kedua, adalah mempersiapkan belajar berpengalaman. Ketiga, adalah mempersiapkan pertumbuhan
karakter.[51]
Sedangkan George R. Geiger mengatakan
bahwa tujuan pendidikan adalah “change in
the experience and conduct of persons (chiefly, but not necessarily, young
persons) engineered by an organized and conscious group – the oral implications
are indeed staggering”.[52]
Dengan
demikian bahwa pendidikan itu sangat penting karena elemen tujuan pendidikan
ada beberapa point sebagai berikut: pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup,
pendidikan sebagai pertumbuhan, dan pendidikan sebagai fungsi sosial. Karena
itu, hendaklah tujuan pendidikan memperhatikan: Pertama, adalah ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas
kebutuhan instrinsik anak dididk. Kedua,
adalah harus mampu memunculkan suatu metode yang dapat mempersatukan aktivitas
pengajaran yang sedang berlangsung. Ketiga,
adalah spesifik dan langsung di mana pendidikan harus tetap menjaga untuk tidak
mengatakan yang berkaitan dengan tujuan umum dan tujuan akhir.[53]
Dari
pemikiran di atas dapat ditajamkan bahwa tujuan pendidikan pragmatisme
adalah: pertama, pendidikan adalah hidup, pertumbuhan sepanjang hidup,
proses rekonstruksi yang berlangsung terus dari pengalaman yang terakumulasi
dari sebuah proses sosial. Kedua,
tujuan pendidikan adalah memperoleh pengalaman yang berguna untuk memecahkan
masalah-masalah baru dalam kehidupan perorangan dan bermasyarakat. Ketiga, tujuan pendidikan tidak
ditentukan dari luar kegiatan pendidikan, tetapi terdapat dalam setiap proses
pendidikan. Oleh karena itu, tidak ada tujuan pendidikan umum pendidikan atau
tujuan akhir pendidikan.
Kurikulum
Pendidikan
Kurikulum pragmatisme
menekankan pada pengalaman sosial. Kurikulum bukan berisi mengenai
fakta-fakta, ide-ide atau isi pengetahuan, tetapi pengalaman yang berkelanjutan
baik dalam kelas maupun di luar kelas.
Kurikulum selalu mengarah pada perubahan dan menjadi jalan pemecahan
bagi perbagai persoalan hidup.[54] Dewey mengatakan bahwa kurikulum bergantung pada definisinya tentang
pendidikan dan pandanganya tentang tujuan pendidikan. Istilah pendidikkan
berkenan dengan proses pemberian “impulse” dan tujuannya adalah meningkatkan
lembaga-lembaga yang membentuk masyarkat. Isi kurikulum adalah mata
pelajaran-mata pelajaran yang memberikan “impulse” kepada anak didik. Isi tersebut
meliputi managemen dan pelaksanaan perusahaan dan industri, IPS dan IPA, mata
pelajaran liberal dan klasikal humanistik dan kesenian. Semua mata pelajaran
diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan.[55] Dengan demikian maka kurikulum mencakup
sebagai berikut: pertama, kurikulum
berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji serta minat-minat dan
kebutuhan-kebutuhan anak didik. Hal terakhir yang menyebabkan perlunya sekolah
membuat kurikulum darurat untuk memenuhi minat dan kebutuhan anak didik. Kedua. pendidikan umum yang
menghilangkan pemisah antara pendidikan umum dan pendidikan praktis.
Kurikulum yang bagus adalah type “core curriculum” ialah
sejumlah pengalaman belajar di sekitar kebutuhan umum. Oleh karena tidak adanya standar yang universal, maka kurikulum
harus terbuka dari kemungkinan untuk dilakukan peninjauan dan penyempurnaan.[56] Karena itu, sifat
kurikulum haruslah fleksibilitas. Dengan demikian, maka kurukulum dapat membuka kemungkinan bagi pendidikan untuk memperhatikan tiap anak
didik dengan sifat-sifat dan kebutuhannya masing-masing. Selain ini semuanya
diharapkan dapat sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Oleh karena
sifat kurikulum yang tidak beku dan dapat direvisi ini, maka jenis yang memadai
adalah kurikulum yang berpusat pada pengalaman. Jenis ini dilukiskan oleh
Theodore Brameld sebagai kurikulum yang melepaskan semua garis penyekat mata
pelajaran dan menekankan pada unit-unit.[57]
Metode
Pendidikan
Metode
pendidikan pragmatism adalah berpikir reflektif atau metode pemecahan masalah
yang dihadapinya. Metode tersebut mempunyai langkah-langkah sebagai berikut: penyadaran
suatu masalah, observasi kondisi-kondisi yang hadir, perumusan dan elaborasi tetang suatu
kesimpulan, dan pengetesan melalui
eksperimen. Berkaitan hal tersebut, Dewey mengatakan bahwa semua pendidikan
yang sejati muncul melalui pengalaman. Meskipun begitu, maka tidaklah cukup
untuk tetap bertahan pada perlunya pengalaman saja dan tidak juga pada perlunya
aktivitas dalam pengalaman, tetapi segala sesuatu tergantung pada kualitas
pengalaman yang dimiliki yang bersangkutan. Jadi, urusan pendidikan adalah
mengatur jenis pengalaman yang, meski pengalaman itu tidak menarik anak didik,
melibatkan aktivitas anak didik yang dirasakan, dan meningkatkan pengalaman
pada masa depan yang diinginkan.[58]
Pendidik
dan Anak Didik
Peranan
pendidikan dan anak didik merupakan suatu hal sangat penting dalam proses
pendidikan pragmatisme. Kegiatan tersebut sebagai berikut: pertama, adalah pendidik
sebagai “research-project director” (the
chairman of the board of directors of a learning industry).[59]
Pendidik mengawasi dan membimbing pengalaman belajar tanpa terlampau banyak
mencampuri urusan minat kebutuhan anak didik.Semua itu dikarenakan pendidik
bukan pendidikan yang tradisional melainkan
dia tidak hanya mengetahui yang
anak didik butuhkan untuk masa depannya melainkan ia memberi pengetahuan dasar
kepada anak didik untuk melakukan
perubahan.
Kedua, adalah
anak didik adalah suatu organisasi yang rumit yang mampu tumbuh. George
Knight mengatakan bahwa anak didik adalah seseorang yang mempunyai
pengalaman secara individu yang mampu menggunakan intelektualnya dalam
memecahkan berbagai persoalan.[60]
Pengalaman itu diperoleh dalam pembelajaran kurikulum, lingkungan sekolah,
merumuskan ide-ide dan merumuskan kebenaran yang diterapkan dalam kehidupannya
sehari-hari. Penerapan pengalaman itulah
proses kreatif yang terjadi dalam pembelajaran.[61]
Ketiga, adalah
konsep pembelajaran dimulai dari ketertarikan anak didik terhadap sesuatu yang
hendak dibelajarkannya. Sifat belajar adalah melakukan perubahan tingkahlaku
sesuai dengan tujuan yang sudah ditentukan oleh anak didik. Belajar merupakan
proses perubahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud atau yang sudah
direncanakan oleh anak didik.[62]
Pendekatan-pendekatan
Pengalaman
Pendekatan-pendekatan pengalaman dapat menolong berbagai persoalan
pendidikan yang sering dihadapinya oleh kelompok-kelompok pluralism, growth,
dan the use of intelligence. Pendekatan pengalaman dapat dilakukan dengan
beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, adalah
meletakan konsep perubahan arti dan akhir dari pendidikan. Pendekatan
pengalaman harus dapat melakukan perubahan dengan leluasa, tanpa diberi beban
rintangan di dalamnya.
Kedua, adalah
demokrasi pendidikan membuat pendidik tidak memandang anak didik adalah
mempunyai posisi apa, sehingga pluralisme akan dapat bertumbuh bersama dengan
pengalaman-pengalaman yang dimiliki setiap pembelajaran. Karena demokrasi pendidkan mengasumsikan bahwa semua
laki-laki maupun semua perempuan adalah anak didik. Ernest
E. Bayles mendefinisikan demokrasi adalah
“equality of opportunity on the part of the
members to participate in he establishment of whatever rules and regulations
(or law) are deemed needful, and equality of obligation to abide by them until
they are abolished or changed.”[63]
Obyek
demokrasi perlunya fokus terhadap: belajar berpikir, merefleksikan pemikiran
diri sendiri, merefleksikan pengajaran,
dan mencari solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi.
Ketiga,
memberi pemahaman arti bahwa pendidikan liberal yang dianut oleh pragmatisme
adalah menolong anak didik berpikir bebas (terbuka), bukan berpikir dengan rasa
takut karena ketidakcocokan pamahaman dengan pendidiknya atau lingkungannya. Di
sini ada toleransi proses belajar-mengajar yang cukup tinggi antara pendidik
dengan anak didik sehingga terjadi proses kreatifitas berpikir yang meluas dan
tajam.[64]
Kriteria
Pengalaman
Dewey
menekankan kriteria pengalaman sebagai berikut:[65]
pertama, adalah kategori
kesinambungan atau rangkaian kesinambungan pengalaman (experinal continuum). Prinsip ini dilibatkan karena ada usaha untuk
memisahkan antara pengalaman yang secara edukatif bermanfaat dan yang tidak
bermanfaat. Prinsip ini bersandar pada
fakta kebiasaan jika kebiasaan ditafsirkan secara biologis. Ciri dasar
kebiasaan adalah setiap pengalaman yang dimainkan dan dialami mengubah orang
yang bertindak dan mengalaminya, sedangkan perubahan itu mempengaruhi, entah
seseorang inginkan atau tidak, kualitas pengalaman berikutnya. Prinsip ini
membentukan sikap yang emosional dan intelektual.
Kedua,
adalah interaksi merupakan prinsip utama
untuk menafsirkan pengalaman dalam fungsi dan daya pendidikan. Ia menetapkan
hak-hak yang sama kepada kedua faktor dalam pengalaman – kondisi obyektif dan internal. Pengalaman yang normal apa pun merupakan
saling pengaruh dari kedua perangkat kondisi ini. Jika keduanya didekatkan,
atau berada dalam interaski, keduanya membentuk apa yang dinamakan “situasi”.
Interaksi sedang terjadi antara individu, benda, dan orang lain. Konsepsi
tentang situasi dan interaksi tidak terjadi antara individu dan apa yang pada
waktu itu merupakan lingkungan, apakah lingkungan itu terdiri atas orang dengan
siapa dia sedang membicarakan topik atau kejadian tertentu.
Dua prinsip kontinuitas dan interaksi satu sama lain
tidak terpisahkan. Boleh dikatakan bahwa mereka merupakan obyek pengalaman yang
bersifat vertikal dan horizontal. Prinsip interaksi menjelaskan bahwa
kegagalannya menyesuaikan materi dengan kebutuhan dan kapasitas individu dapat
menyebabkan pengalaman menjadi sungguh tidak mendidik sebagaimana gagalnya
individu beradaptasi dengan materi. Namun prinsip kontinuitas dalam aplikasi
pendidikan mengandung arti bahwa masa depan harus diperhitungkan pada setiap
tingkat proses pendidikan.
Pragmatisme
Pendidikan dalam Konteks
Dari
uraian di atas, maka dapat dirumuskan bahwa menjalankan proses pendidikan perlu
disesuaikan dengan konteksnya. Konteks maksudnya adalah budaya setempat –
tradisi, adat, dan produk budaya itu
sendiri. Proses pendidikan yang mencakup: visi, tujuan pendidikan, kurikulum,
proses belajar-mengajar, dan evaluasi
dirumuskan berdasarkan konteks budaya setempat. Memang secara teori
tidaklah sulit tetapi untuk Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau dan tentunya
banyak konteks budaya merupakan pekerjaan yang sangat sulit dan perlu ekstra
memikirkan secara detail batasan-batasan budaya yang ada antara satu budaya
dengan budaya yang lain.
Konteks budaya pun dapat dikembangkan dalam
budaya perkotaan dengan berbagai pulau dan pedesaan dengan berbagai pulaunya,
sehingga hasil dari perumusan pragmatisme menjadi berbeda-beda. Meskipun begitu
bahwa dasar kurikulum adalah standar
untuk pendidikan di Indonesia. Jadi, penyesuaian konteks budaya inilah bagian
dari sistem filsafat pragmatisme, tetapi yang terjadi kurikulum yang berlaku
wajib diterapkan 100% dengan cross culture. Di sini peserta didik
dipaksa untuk mengikuti kecerdasan kurikulum tanpa diberi kesempatan melakukan
adaptasi budaya masing-masing. Jadi, konteks
budaya merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus,
dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian
pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah
untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.
Konteks budaya
tersebut dapat diterapkan dalam berbagai jenjang pendidikan (pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan jenjang
pendidikan tinggi), jalur pendidikan (pendidikan formal, pendidikan nonformal,
dan pendidikan informal), jenis pendidikan (pendidikan umum, pendidika
kejuruan, dan pendidikan akademik),
pendidikan profesi, pendidikan vokasi, pendidikan keagamaan, dan pendidikan
khusus. Dengan demikian, maka mencapaian kualitas pendidikan dapat diwujudkan. Ada
dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan -- khususnya di Indonesia --
yaitu: pertama, adalah faktor internal,
meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan
Nasional, Dinas
Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan. Kedua,
adalah faktor eksternal,
adalah masyarakat pada umumnya. Pendidikan biasanya berawal pada saat seorang
bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal
dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan
memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia akan
bisa (mengajar) bayi mereka sebelum kelahiran. Banyak orang yang lain,
pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal.
Seperti kata Mark
Twain, "Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan
saya." Karena itu, maka anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang
amat mendalam -- sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka --
walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.
PENUTUPAN
Filsafat pendidikan
berdasarkan pragmatisme adalah belajar dari pengalaman konteks budaya di mana peserta didik lahir
dan bertumbuh. Meskipun ada kurikulum standar tetapi pengembangan lainnya
disesuaikan dengan konteks budaya di mana lembaga pendidikan itu berlangsung.
Jadi, melihat visi, tujuan pendidikan, kurikulum, proses belajar-mengajar
(termasuk peserta didik) berdasarkan kurikulum standar yang dikembangkan dalam
konteks budaya peserta didik yang bersangkutan.
Bila
lembaga tersebut berada di kota maka perlu disesuaikan dengan budaya kota
dimana peserta didik hidup dalam proses pendidikan di sebuah lembaga atau kalau
lembaga pendidikan berada di desa maka konteks budaya disesuaikan dengan
keberadaan desa yang ada. Dengan demikian, maka akan lahir manusia-manusia
pembelajar yang dewasa baik dalam ilmu maupun dalam budaya di mana ia berada.
Bila
lembaga pendidikan tersebut diorientasikan pada keagamaan, maka tinggal
dikembangkan secara ketat dan detail dasar-dasar spiritual dan aplikasinya pada
konteks budaya setempat. Dengan demikian
akan lahirlah para pembelajar yang mempunyai kekuatan spiritual yang
terpilih.
DAFTAR PUSTAKA
Bayles, Ernest
E. Pragmatism in Education. New York: Harper & Row, 1966.
Hook Sidney, in
Education for Modern Man. New
York: Knopf, 1963.
Kilpatrick, William
Heard. In Education for a Changing Civilization. New York: Macmillan, 1927.
Soemanto, Wasty
dan Hendyat Soetopo. Dasar & Teori Pendidikan Dunia Tantangan
bagi Para Pemimpin Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional, 1982.
Barnadib, Imam. Fisafat
Pendidikan, Sistem dan Metode. Yogyakarta:
Yasbit FIP IKIP Yogyakarta, 1987.
Brameld, Baca Theodore. The
Pattern of Educational Philosophy. New York: The Mac. Milland Company, 1956.
Noddings, Nel. Philosophy
of Education. USA: Westview Press, 1995.
Geiger, George R. An Experimentalist Approach to
Education: Modern Philosophies and Education. ed.
Nelson B. Henry, 1955.
Hamersma, Harry. Pintu
Masuk ke Dunia Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius, 1981.
Sidjabat, B. Samuel. Strategi
Pendidikan Kristen. Yogyakarta:
Andi Offset, 1994.
Titus,
et.al., Persoalan-persoalan
Filsafat. Jakarta:
Bulan Bintang, 1984.
Van
Peursen, C. A. Orientasi di Alam Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1980.
Knight, George R. Issues
and Alternatives in Educational Philosophy. Michigan:
Andrews University Press, 1982.
Syam, Mohammad Noor. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat
Kependidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1986.
Sukmadinata, Nana Syaodih.
Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek.
Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005.
Arifin H.M. Ilmu
Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teori dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipline. Jakarta:Bina Aksara,
1993.
Purwanto, M. Ngalim. Ilmu
Pendidikan: Teoritis dan Praktis. Bandung: Remadja Karya, 1988.
Mardiatmadja, B.S. Tantangan
Dunia Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius, 1986.
Jalaluddin
& Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan
Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar
Fislafat. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Barnadib, Imam. Filsafat
Pendidikan. Yogyakarta: Adicita, 2002.
Sadulloh, Uyoh. Pengantar
Filsafat Pendidikan. Bandung:
Alfabeta, 2003.
Rune, Dagobert. Dictionary
of Philosophy. New Jersey: Litlefield Adams, 1963.
Kattsoff, Louis O. Pengantar
Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992.
Mudyahardjo, Redja. Filsafat
Ilmu Pendidikan. Bandung: Remadja Rosdakarya, 2001.
Kneller, George F. Introduction
to the Philosophy of`Education. New York: John Wiley & Sons, Inc., 1971.
Butler, J. Donald. Four
Philosophies. New
York: Harper & Brothers Publisher, 1957.
Ozmon, Howard
A. & Samuel M. Craver. Philosophical
Foundations of Education. New Jersey: Prentice Hall, 1995.
James, William. Pragmatism. New York:
Longmans, 1907.
Iman, Muis Sad. Pendidikan
Partisipatif. Yogyakarta:
Safiria Insania Press, 2004.
Knight, George R. Philosophy
and Education. Michigan:
Andrews University Press, 1980.
Berbasis Pengalaman. Bandung: Teraju, 2004.
[1]Jack Terry, Education Philosophy, 112.
[2]Nel
Noddings, Philosophy of Education
(USA: Westview Press, 1995) 31.
[3]George R.
Geiger, “An Experimentalist Approach to Education”, Modern Philosophies and Education, ed. Nelson B. Henry (1955) 138.
[4]Harry
Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat
(Yogyakarta: Kanisius, 1981) 10.
[5]B. Samuel
Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen
(Yogyakarta: Andi Offset, 1994) 2.
[6]Titus, et.al., Persoalan-persoalan
Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) 7-9.
[7]C. A. van
Peursen, Orientasi di Alam Filsafat
(Jakarta: Gramedia, 1980) 10-11.
[8]Ibid. 11;
baca juga ibid. 17.
[9]George R.
Knight, Issues and Alternatives in
Educational Philosophy (Michigan: Andrews University Press, 1982) 4-5.
[10]Mohammad
Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan
Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila
(Surabaya: Usaha Nasional, 1986)24.
[11] Ibid.
[12]Dikutip
oleh Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan
Kurikulum: Teori dan Praktek (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2005) 14.
[13]Arifin
H.M., Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teori dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipline (Jakarta:Bina Aksara, 1993) 2.
[14]M. Ngalim
Purwanto, Ilmu Pendidikan: Teoritis dan
Praktis (Bandung: Remadja Karya, 1988) 1.
[15]B. Samuel
Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen,
8.
[16]B.S.
Mardiatmadja, Tantangan Dunia Pendidikan
(Yogyakarta: Kanisius, 1986) 19.
[17]M. Ngalim
Purwanto, Ilmu Pendidikan: Teoritis dan
Praktis, 11.
[18]Jalaluddin
& Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan:
Manusia, Filsafat dan Pendidikan (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997) 14.
[19]Arifin
H.M., Ilmu Pendidikan Islam: Suatu
Tinjauan Teori dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipline, 1.
[20]Jan Hendrik
Rapar, Pengantar Fislafat
(Yogyakarta: Kanisius, 1996) 44.
[21]Ibid. 44
[22]Imam
Barnadib, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta : Adicita, 2002) 16.
[23]Ibid. 45.
[24]Ibid.
[25]Ibid. 46.
[26]Uyoh
Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung :
Alfabeta, 2003) 29; baca juga Imam
Barnadib, Filsafat Pendidikan,
16.
[27]Jan Hendrik
Rapar, Pengantar Filsafat, 37.
[28]Uyoh
Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan,
39.
[29]Ibid.39
[30]Dagobert
Rune, Dictionary of Philosophy (New Jersey: Litlefield Adams,
1963) 32.
[31]Baca Louis
O. Kattsoff, Pengantar Filsafat
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992) 333-348.
[32]Ibid. 332.
[33]Redja
Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan (Bandung : Remadja
Rosdakarya, 2001) 232.
[34] Jack
Terry, Education Philosophy, 111
mengatakan bahwa pragmatisme mempunyai banyak nama seperti: “experimentalism”, “progressivism”,
“instrumentalism”, bahkan “reconstructionism”.
Berkaitan ini, Redja Mudyahardjo,
Filsafat Ilmu Pendidikan (Bandung : Rosdakarya, 2004)
235-240 mengatakan bahwa salah satu aliran filsafat pendidik dari beberapa
aliran filsafat yang ada seperti: idealisme, realisme, scholastisisme,
empirisme, dan neopositivisme.
[35]George F.
Kneller, Introduction to the Philosophy
of`Education (New York: John Wiley & Sons, Inc., 1971) 13; baca juga J. Donald Butler, Four Philosophies (New York: Harper
& Brothers Publisher, 1957) 417.
[36]Howard A.
Ozmon & Samuel M. Craver, Philosophical
Foundations of Education (New Jersey: Prentice Hall, 1995) 121-170; J. Donald Butler, Four Philosophies, 417-443; baca
juga Uyoh Sadulloh, Pengantar
Filsafat Pendidikan (Bandung: CV Alfabeta, 2003) 118 mengatakan bahwa pendiri filsafat
pragmatisme di Amerika adalah Charles Sandre Peirce (1839-1914), William James
(1842-1910), dan John Dewey (1859-1952). Ketiga filosof tersebut berbeda, baik
dalam metodologi maupuan dalam kesimpulannya. Pragmatisme Pierce dilandasi oleh
fisika dan matematika, filsafat Dewey dilandasi oleh sains-sains sosial dan
biologi, sedangkan filsafat James adalah
personal, psikologis, dan bahkan mungkin religius. Tetapi sebenarnya,
latarbelakang pragmatisme dapat
ditemukan hasil kerja dari: Francis Bacon (a new way of thinking), John Locke
dan Jean-Jacques Rousseau (the centrality of Experience), Auguste Comte dan
Charles Darwin dan (science and society). Sedangkan tokoh yang mempengharuhi
semua itu para filosos Yunani mulanya seperti: Heraclitus dan The Sophists.
[37]Howard A.
Ozmon & Samuel M. Craver, Philosophical
Foundations of Education, 121.
Istilah lainnya yang dapat diberikan para filsafat pragmatisme adalah
intrumentalisme dan eksperimentalisme. Disebut instrumentalisme, karena
mengganggap bahwa dalam hidup ini tidak dikenal tujuan akhir, melainkan hanya
tujuan berikutnya, termasuk dalam pendidikan tidak mengenal tujuan akhir.
Dikatakan eksperimentalisme, karena filsafat ini menggunakan metode eksperimen
dan berdasarkan atas pengalaman dalam menentukan kebenarannya.
[38] William
James, Pragmatism (New York:
Longmans, 1907) 54-55.
[39] Muis Sad
Iman, Pendidikan Partisipatif (Yogyakarta : Safiria Insania Press, 2004) 42.
[40]George R.
Knight, Philosophy and Education
(Michigan: Andrews University Press, 1980) 67-68.
[41]Baca Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan,119-123.
[42]George R.
Knight, Philosophy and Education, 13.
[43]Redja
Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan,235-237.
[44]Ibid. 35.
[45]Ibid. 35.
[46]Ernest E.
Bayles, Pragmatism in Education (New
York: Harper & Row, 1966) 42.
[47]Muis Sad
Iman, Pendidikan Partisipatif, 55.
[48]Ibid. 83-89.
[49]Howard A.
Ozmon & Samuel M. Craver, Philosophical
Foundations of Education, 145-146.
[50] Baca
Sidney Hook, in Education for Modern Man
(New York: Knopf, 1963).
[51]William
Heard Kilpatrick, In Education for a
Changing Civilization (New York: Macmillan, 1927).
[52]George R.
Geiger, “An Experimentalist Approach to Education”, 144.
[53]Ibid. 100.
[54]Jack Terry,
Education Philosophy, 123.
[55] Wasty
Soemanto dan Hendyat Soetopo, Dasar & Teori Pendidikan Dunia Tantangan
bagi Para Pemimpin Pendidikan (Surabaya:
Usaha Nasional, 1982) 121-125.
[56] Imam
Barnadib, Fisafat Pendidikan, Sistem dan
Metode (Yogyakarta: Yasbit FIP IKIP Yogyakarta, 1987) 29.
[57]Baca
Theodore Brameld, The Pattern of
Educational Philosophy (New York :
The Mac. Milland Company, 1956).
[58]John Dewey,
Experience and Education: Pendidikan
Berbasis Pengalaman (Bandung :
Teraju, 2004) 10,12.
[59]Jack Terry,
Education Philosophy, 123.
[60]George R.
Knight, Philosophy and Education, 73.
[61]Jack Terry,
Education Philosophy, 122.
[62]Ernest E.
Bayles, Pragmatism in Education, 21.
[63]Ernest E.
Bayles, Pragmatism in Education, 69.
[64]George R.
Geiger, “An Experimentalist Approach to Education”, 149-153.
[65]Baca John Dewey, Experience and Education, 19-33.
Langganan:
Postingan (Atom)