Kamis, 03 September 2015

KONFRENSI THEOLOGI INDOMAS

"Theological Confrence for Pastors and Elders" Merupakan seminar Internasional. yang diselengarakan oleh pihak INDOMAS (Indonesia dan Malaysia) pada tanggal 26 - 29 Agustus 2015, bertempat di Season City Jl. Prof. dr. Latumenten No. 33, Grogol - Jakarta. dalam seminar tersebut membahas tema mengenai "Pentingnya theologia Inttegratif Bagi Identitas Pegangan dan Pengaruh Gereja Abad ke - 21 (Mengembalikan theologi Kepada Gereja). Seminar tersebut di isi oleh para nara sumber yang sudah kompeten dan profesional dalam bidangnya masing-masing. sehingga dalam setiap sesi masing - masing narasumber, memberikan materi yang sangat bermanfaat bagi para peserta seminar.  http://instituttheologiaindonesia.com/theologia-conference-for-pastors-and-elders/#prettyPhoto


Senin, 27 Juli 2015

MENJADI TELADAN

               











Buku Seri  Pendidikan Agama Kristen  “Menjadi Teladan”   merupakan lanjutan dari  buku seri  “Menjadi Terang”  yang sebelumnya  dari kelas satu sampai kelas enam SD. Sedangkan buku “Menjadi Teladan”  di peruntukan  untuk Sekolah Menengah Pertama dan sederejat.  Buku “Menjadi Teladan”  memiliki keunggulan sebagai berikut: 1) Kurikulum yang dipakai mengacu kepada KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dengan berbasis karakter. 2) Ilustrasi unik dan menarik. 3) Setiap pembelajaran diakhirti dengan ayat hafalan dan mendorong murid untuk lebih aktif membaca Alkitab. 4) Cover buku  lebih representif sehingga sangat menarik bagi murid. 5) Maskot buku, yang digambarkan oleh lima orang anak yang berangkulan menggambarkan kebersamaan, kesatuan, keteladanan, dan rasa percaya diri untuk menatap masa depan. 6) Metode Pengajaran Lebih Kreatif dan Alkitabiah serta terintegrasi dengan mata pelajaran lainnya. 7) Elemen-Elemennya lebih mengaplikasikan nilai budaya dan kearifan local Indonesia. Buku tersebut sangat bermanfaat sebagai buku pegangan maupun buku panduan bagi pendidik dan anak didik’nya. Melalui buku seri “Menjadi teladan” anak-anak yang mulai beranjak remaja akan dituntun kepada iman yang bertumbuh dan menjadi teladan bagi anak-anak remaja lainya.***

Kamis, 23 Juli 2015

Mission for City

Buku "Mission for City" tersebut
Mengenalkan berbagai bentuk pelayanan dan rumusan dan strategi penginjilan di perkotaan, seperti, pelayanan media elektronika, pelayanan internet, pelayanan literatut, pelayanan teologi agama-agama, pelayanan gereja, pelayanan yayasan misi, pelayanan kaum kumuh, pelayanan mahasiswa, pelayanan cell, pelayanan anak, pelayanan remaja-pemuda, pelayanan waria-homo dan lesbi, pelayanan kaum wanita pria, dan pelyanan komunikasi.

Buku ini mengubah pemikiran: "Injil hanya di sebarkan dan berpengaruh di pedesaan dan suku-suku terasing, sedangkan perkotaan tidaak perlu. "justru buku ini memperlihatkan betapa pentingnya transformasi injil hidup di tengah perkotaan.

John Dawson pernah berkata "Kota adalah otak dan hati suatu bangsa. Bangsa merupakan jumlah dari kota-kotanya. jika kita memandang serius pemuridan bangsa-bangsa, maka kita harus memahami realitas kehidupan mereka. itu berarti bahwa Injil harus memberi warna baru pada kehidupan rohani filsafat, dan jasmani di dalam kota-kota suatu bangsa, mari kita kibarkan panji-panji Kristus di tempat-tempat kotor dan yang paling gelap. mari kita hadapi raksasa-raksa kota yang menghantui pikiran.

 Floyd McClung mengatakan: "daerah perkotaan sebagai puncak gunung perubahan masyarakat, tempat ideologi dan mode pakaian datang dan pergi silih-berganti di tengah kancah peragian khalayak ramai." ***

Senin, 13 Juli 2015

Seri Menjadi Terang








      
       
        
                 

  1). Buku seri Pendidikan Agama Kristen Menjadi Terang untuk Sekolah Dasar dari kelas satu sampai kelas enam. Kurikulum yang dipakai mengacu pada KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dengan berbasis karakter. 2). Ilustrasi Unik dan menarik. 3). setiap pembelajaran diakhiri dengan hayat hafalan serta doa dan mendorong murid untuk lebih aktif membaca Alkitab. 4). Cover buku lebih representatif bagi murid. 5). Maskot buku, yaitu komodo merepresentasikan hewan kebanggaan Indonesia yang telah mendunia. 6). Metode Pengajaran lebih kreatif dan alkitabiah serta terintergrasi dengan mata pelajaran lainnya. 7). elemen-elemnya lebih mengaplikasikan nilai budaya dan kearifan lokal.

    Buku tersebut sangat bagus untuk anak-anak belajar dirumah maupun di sekolah. karena akan bermanfaat menumbuhkan iman dan karakter sebagai anak-anak Terang.***


Minggu, 12 Juli 2015

Eksegese Perjanjian Lama

    Buku "Eksegese Perjanjian Lama" merupakan buku panduan pengantar penelintian dan penafsiran Perjanjian Lama.
Penafsiran Alkitab adalah Ilmu biblika yang dapat ditafsirkan dengan pendekatan penelitian hermeneutika, eksegese atau eksposisi. penafsiaran Alkitab suatu penelitian hermeneutika, eksegese atau eksposisi. Penafsiran Alkitab  suatu penelitian biblika yang bertujuan mengeluarkan makna teks. Penafsiran tersebut berkembang selama jaman Ezra, Yesus hingga era modern saat ini. tentu saja hingga saat ini sudah bermunculan berbagai metode penafsiran, tetapi tidak semua metode penelitian dapat digunakan karena ada penelitian yang digunakan kaum liberal dan kaum Injil. Kaum Injili menekankan otoritas Alkitab dengan pemikiran adalah Allah yang menulis Alkitab dengan perantara para nabinya, yang di urapi oleh Roh Kudus, Firman yang dalam Alkitab  tidak ada satupun yang salah dan sudah sempurna dikerjakan oleh Allah. mencakup tetapi kaum Liberal memandang, Alkitab adalah buku bernilai moral yang sangat tinggi sehingga selalu ada kesalahan di sana-sisni, karea itu Akitab perlu diedit kembali (Kritik Redaksi).
Pekerjaan eksegese dilakukan secara integrasi mencakup pendekatan sebagai berikut: Kritik Teks, kritik sejarah, Kritik Tata bahasa, (sintak & gramatika), Kritik sastra, kritik bentuk, kritik tradisi, kritik redaksi, Kritik struktur, kritik kanonik, dan kritik nats. tetapi dalam buku ini penulis hanya mengguhnakan standar eksegese berdasarkan pekerjaan yang dilakukan World Biblical Comentary (WBC), yang Menckup: (1) Analisis Tekstual dan Terjemahan Penulis. (2) Analisis Konteks Histori. (3) Analisis Sintaksis dan Gramatika. (4) Analisa arti kata atau Word Studies atau leksikal. (5) Analisis Struktural (Bentuknya). buku ini di recomendasikan untuk para mahasiswa yanjg sedang menempuh studi dalam bidang seminasi sekolah teologi, karena buku ini akan sangat membantu dan mempermudah dalam mengerjakan eksegese Kitab Perjanjian Lama.***

Metodologi Kuantitatif & Kualitatif

Penelitian Kuantitatif Banyak di pergunakan baik dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, dari fisika,biologi, pendidikan, , misiologi hingga jurnalisme. pendekatan ini juga digunakan sebagai cara untuk meneliti berbagai aspek dari pendidikan. istilah penelitian kuantitatif sering digunakan dalam ilmu-ilmu sosial untuk membedakannya dengan kualitatif.
  penelitian kualitatif di gunakan di bidang sosial dan humaniora, sosiologi, pendidikan, misiologi, antropologi, psiokologi, ilmu politik, termasuk studi biblika (tafsi-hemeneutik), teologi dan filsafat agama. untuk bidang-bidang disiplin diatas dirancang dengan penelitian adalah : Grounded Theori, Etnografi, Fenomenologi, Studi Kasus, Penelitian dengan pendekatan Biografi, penelitian Partisif, Penelitian Klinis, penelitian Biblika (Penerjemahan, Kritik Teks. Kritik Sumber, kritik bentuk, Kritik Redaksi, kritik Retorik, Kritik Naratif, Kritik Sosial, Penyelidikan Alkitab). Penelitian Teologi dan Filsafat Agama, Penelitian Teologi Sitematik, penelitian Teologi pratika atau Pastoral, Studi Kasus Pastoral, penelitian  Filsafat Agama, dan Penelitian Teologi Kontekstual.***

Rabu, 01 Juli 2015

Karakter Yang di Perbaharui

 
Memiliki karakter yang di perbaharui di dalam Tuhan haruslah menjadi tujuan hidup orang percaya. Namun, untuk memiliki karakter yang demikian memerlukan pemahaman firman Tuhan yang benar. kemudian, hal itu wajib ditindaklanjuti dengan mempraktikan apa yang sudah di pahami itu dalam kehidupan sehari-hari. Memang ada ungkapan, "Mehami mudah, tetapi mempraktikan sulit." akan tetapi, praktik adalah latihan. tidak ada latihan yang sulit bila di jadikan kebiasaan. Oleh karena itu, adalah bijak jika orang percaya tidak sekedar menjadikan firman Tuhan sebagai suatu praktik yang sulit baginya,  tetapi justru menjadikannya kebiasaan dalam kehidupan.

buku kecil ini berisi 41 refleksi motivasional yang akan mengingatkan, mengajak dan meneguhkan kembali kebiasaan hidup kita dalam firman Tuhan, yang akan membuat kita memiliki "karakter yang diperbaharui di dalam Tuhan".***

Selasa, 30 Juni 2015

PRAGMATISME PENDIDIKAN DALAM KONTEKS

Oleh Harianto GP

Abstrak
Pragmatisme adalah sistem filsafat yang digunakan dalam pertumbuhan dan perkembangan pendidikan di Indonesia. Filsafat menggunakan beberapa metode yaitu contemplative, speculative, dan deduktive. Dalam proses pendidikan pragmatisme tercakup beberapa hal yaitu tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, metode pendidikan, pendidik dan anak didik. Proses ini perlu disesuaikan dengan konteks budaya yang ada di setiap daerah dengan standar pendidikan yang sama. Hal ini dilakukan agar mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang berkualias tanpa beradaptasi dengan budaya yang berbeda-beda.
Kata Kunci: Pragmatisme, filsafat, pendidikan, konteks.



PENDAHULUAN

Pragmatisme merupakan  sistem filsafat yang dapat menjadi peluang bagi pertumbuhan dunia pendidikan di Indonesia. Pragmatisme yang belajar dan berkembang berdasar pengalaman sangatlah potensi bila diterapkan dalam konteks pendidikan di Indonesia. Hal tersebut mengingat bahwa perkembangan pendidikan di Indonesia yang selalu berubah-ubah dan tidak menentu, sehingga perlunya belajar dari pengalaman. Misalnya ketidakteraturan pendidikan di Indonesia adalah adanya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Kurikulum 2004, diubah-ubah mengganti kurikulum tahun 1994. Kurikulum tersebut adalah kurikulum yang diterapkan sejak tahun 2004 walau sudah ada sekolah yang mulai menggunakan kurikulum ini sejak sebelum diterapkannya. Secara materi, sebenarnya kurikulum ini tak berbeda dari Kurikulum 1994, perbedaannya hanya pada cara para murid belajar di kelas.
Dalam kurikulum terdahulu, para murid dikondisikan dengan sistem caturwulan. Sedangkan dalam kurikulum baru ini, para siswa dikondisikan dalam sistem semester. Dahulu pun, para murid hanya belajar pada isi materi pelajaran belaka, yakni menerima materi dari guru saja. Dalam kurikulum 2004 ini, para murid dituntut aktif mengembangkan keterampilan untuk menerapkan Iptek tanpa meninggalkan kerja sama dan solidaritas, meski sesungguhnya antar siswa saling berkompetisi. Jadi di sini, guru hanya bertindak sebagai fasilitator, namun meski begitu pendidikan yang ada ialah pendidikan untuk semua. Dalam kegiatan di kelas, para siswa bukan lagi objek, namun subjek. Dan setiap kegiatan siswa ada nilainya. Tetapi, sejak tahun ajaran 2006/2007, diberlakukan kurikulum baru yang bernama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yang merupakan penyempurnaan Kurikulum 2004.
Dengan berganti-gantinya kurikulum tersebut, membuat ketidakstabilan kualitas pendidikan di negeri ini. Mestinya negeri ini belajar dari pengalaman bahwa bagaimana dampak-dampak kurikulum yang tidak stabil yang tidak mengguntungkan perlu disempurnakan. Bersangkutan dengan hal tersebut, maka sistem pragmatisme menjadi pendekatan pendidikan konteks Indonesia sangat dibutuhkan. Pragmatisme adalah “experience” (pengalaman).[1] Pengalaman itu apa yang diperbuat manusia, dilakukan, dan dipikirkan. Dalam hal ini, maka John Dewey mengatakan bahwa pengalaman adalah “body of information and skills we apply intelligently to inquiry”.[2] Tetapi,  George R. Geiger  mengatakan kunci pragmatisme adalah teori pengetahuan dan nilai.[3]


DASAR-DASAR FILSAFAT

Pengertian  Filsafat

Filsafat berasal dari dua istilah Yunani “philos” dan “sophia”, yang berarti “cinta kebijaksanaan”; “cinta akan hikmat”; “cinta akan pengetahuan”. Seorang “filsuf” adalah seorang “pencinta”, “pencari” (philos) hikmat atau pengetahuan (sophia).[4] Karena kecintaan, keinginan atau kerinduannya orang berupaya mencari, menggali dan merumuskan kebenaran. Kebenaran hal ini menyangkut pertanyaan-pertanyaan tentang makna dan tujuan hidup yang paling hakiki (the quest of life).[5] Selanjutnya dengan kehidupan atau perkembangan peradaban manusia dan problema kehidupan yang dihadapinya, maka pengertian yang bersifat teoris seperti  yang dilahirkan filsafat Yunani di atas kehilangan kemampuannya untuk memberi jawaban yang layak tentang kebenaran itu. Peradaban itu telah menyebabkan manusia melakukan loncatan besar dalam bidang sains, teknologi, kedokteran dan pendidikan.[6]
Manusia Eropa pada abad pertengahan hidup dalam kesadaran  bahwa kenyataan bersifat sakramental, artinya merupakan tanda dan lambang mengenai kenyataan ilahi. Itulah pengalaman hidupnya. Berbeda dengan waktu Renaissance timbullah pengalaman bahwa kenyataan itu merupakan dunia kebendaan, materi, yang hakekatnya bersifat matematis, dapat digariskan, dipatoki dengan jelas dan cermat.[7] Dari sini filsafat menjadi pengalaman kehidupan sehari-hari. Filsafat dapat “mengkodratkan” pengalaman dan menjadikannya kesadaran dalam satu sistem.[8]
Berkaitan dengan konsep filsafat di atas, maka George Knight menjabarkan lebih jelas. Ia merumuskan bahwa filsafat memiliki tiga dimensi sebagai berikut:  pertama, sebagai “subject matter” atau konsep: filsafat mempelajari  masalah-masalah metafisika (apa yang nyata), epistemology (pengetahuan dan bagaimana mengetahui), dan aksiologi (nilai, etika dan keindahan). Kedua, sebagai kegiatan: filsafat menempuh langkah-langkah analisis, sintesis, spekulatif dan  preskriptif. Ketiga, filsafat melibatkan sikap (attitude):  kesadaran diri, penetratif, komprehensif, dan fleksibilitas.[9]  Jadi,  filsafat adalah kegiatan yang senantiasa bertujuan untuk membentuk atau merumuskan “pandangan dunia” (worldview) dalam rangka mencari hikmat atau pengetahuan.

Metode Filsafat

Filsafat mempergunakan banyak cara, berbagai metode, dan multi metode. Metode berasal dari perkataan Yunani “Methodos”, yang artinya: (1) sesuatu prosedur yang dipakai untuk mencapai sesuatu tujuan; (2) sesuatu teknik mengetahui yang dipakai dalam proses mencari ilmu pengetahuan dari sesuatu materi tertentu; (3) sesuatu ilmu yang merumuskan aturan-aturan dari suatu prosedur.[10] Mohammad Noor Syam mengatakan ada beberapa metode filsafat sebagai berikut: pertama, contemplative (perenungan). Merenung berarti memikirkan sesuatu, atau segala sesuatu, tanpa keharusan adanya kontak langsung dengan obyeknya. Obyek perenungan dapat berupa apa saja, misalnya tentang makna hidup, mati, kebenaran, keadilan, keindahan dan sebagainya.  Hal ini cara filsafat untuk memikirkan segalanya secara mendalam.  Kedua, speculative (perenungan atau merenung). Merenung lebih mendalam untuk mencari hakekat ilmu dengan pikiran yang tenang, kritis, pikiran murni dan cenderung menganalisa, menghubungkan antara masalah, dan berulang-ulang sampai mantap.  Ketiga, deductive.  Metode deductive adalah berpikir dan penyelidikan ilmiah umumnya menggunakan metode induktif. Proses induktif adalah penyelidikan berdasarkan eksperimen yang dimulai dari obyek yang khusus untuk mendapat kesimpulan yang bersifat umum.[11]



Ruang Lingkup Kajian Filsafat

Dari definisi “filsafat” di atas, maka ruang lingkup kajian filsafat filsafat dapat diartikan sebagai aktifitas pikiran teratur  yang membentuk worldview seseorang sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.  Jadi,  filsafat  menggambarkan satu aspek dari aspek-aspek pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan pendidikan secara praktis.
Bila diberi contoh kaitannya dengan pendidikan, maka Donald Butler mengatakan bahwa filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktek pendidikan, sedangkan praktek pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan filosofis. Keduanya sangat berkaitan erat.[12]  Berkaitan dengan hal tersebut, maka John Dewey mengatakan filsafat merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju ke arah karakter manusia, maka filsafat bisa juga diartikan “sebagai teori umum  pendidikan”.[13]


Metode Filsafat Pendidikan

Dalam dunia pendidikan dikenal istilah “paedagogie” artinya “pendidikan” dan istilah “paedagogiek” artinya ilmu pendidikan. Pedagogik atau ilmu pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik.  Pedagogik berasal dari kata Yunani “paedagogia” yang berarti “pergaulan dengan anak-anak”. Paedagogos  (paedos “anak”; agoge “saya membimbing, memimpin”) ialah seorang pelayan dalam zaman Yunani kuno, yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak ke dan dari sekolah.  Juga di rumahnya, anak-anak tersebut selalu dalam pengawasan dan penjagaan  dari para  paedagogos itu. Jadi nyatalah bahwa pendidikan anak-anak Yunani kuno sebagian dibesar dan diserahkan kepada paedagogos.[14]  Sedangkan dalam kata Latin  terdiri dari kata “educare”  artinya “merawat, memperlengkapi dengan gizi, agar sehat dan kuat” dan kata “educere” artinya “membimbing keluar dari”. 
Dalam Ensiklopedi  Pendidikan (1982) secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai “semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah”.  Penegasan itu menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha atau upaya sadar tujuan, atau bersahaja, dan karena itu, ia menuntut perencanaan, strategi atau pendekatan.[15] Berkaitan di atas, B.S. Mardiaatmadja  mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu usaha bersama dalam  proses terpadu-terorganisir untuk membantu manusia mengembangkan diri dan menyiapkan diri  guna mengambil tempat semestinya dalam pengembangan masyarakat dan dunianya di hadapan Sang Pencita.[16] Ngalim Purwanto juga mendefinisikan bahwa pendidikan adalah  segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan atau agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.[17]  Poerbakawatja juga sependapat dengan definisi pendidikan yang sebelumnya adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa yang mana dengan pengaruhnya meningkatkan kedewasaan dari anak yang selalu diartikan kemampuan untuk memikul tanggung jawab moril dari segala perbuatannya.[18] Jadi, pendidikan secara menyeluruh menyangkut segala segi hidup manusia. John Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya rasa (emosi) manusia.[19] 


DASAR-DASAR FILSAFAT PENDIDIKAN

Ontologi (Metafisika)

Metafisika berasal dari bahasa Yunani Kuno, yang terdiri dari dua kata “meta” dan “fisika”. Meta berarti “sesudah di belakang”, atau “melampaui”, dan “fisika” berarti alam nyata. Istilah metafisika merupakan judul yang diberikan oleh Andronikos dari Rhodes terhadap empat belas buku yang ditulis oleh Aristoteles, yang ditempatkan sesudah fisika yang terdiri dari delapan buku. Aristoteles sendiri tidak menggunakan istilah metafisika dan fisika, melainkan “filsafat pertama untuk metafisika” dan “filsafat kedua untuk fisika”.[20]
Kata “metafisika” itu saat ini memiliki berbagai arti. Metafisika bisa berarti upaya untuk mengkarakterisasi eksistensi atau realitas sebagai suatu keseluruhan, atau berarti sebagai usaha untuk menyelidiki alam yang berada di luar pengalaman atau menyelidiki apakah hakikat yang berada di balik realitas. Tetapi secara umum, metafisika menunjuk pada arti suatu pembahasan filsafati yang komprehensif mengenai seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang ada.
Metafisika dibagi menjadi dua sebagai berikut: metafisika umum (ontologi) dan metafisika khusus (kosmologi, teologi metafisik, dan filsafat antropologi).[21]  Ontolongi membahas tentang teori umum mengenai semua hal, sedangkan metafisika khusus membahas esensi dari yang ada, hakikat dari segala wujud yang ada: siapa manusia, dari mana asal usulnya, apa yang dituju manusia, dan untuk apa hidup di dunia ini.[22]
Pembahasan ontologi dilakukan dengan membedakan dan memisahkan eksistensi “dari segala sesuatu”. Pertanyaan-pertanyaan ontologi yang utama dan paling sering diajukan adalah sebagai berikut: apakah suatu realitas itu beraneka ragam dan berbeda-beda? Apakah hakekatnya satu atau tidak? Apabila  memang benar satu, apakah realitas yang satu itu.apakah eksistensi yang sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada itu merupakan realitas yang tampak atau tidak?
            Ada tiga teori ontologis[23] antara lain: Pertama, idealisme, teori ini mengajarkan bahwa ada yang sesungguhnya berada di dunia ide. Segala sesuatu yang tampak dan mewujudkan nyata dalam alam indrawi hanya merupakan gambaran atau bayangan dari yang sesungguhnya yang berada di dunia ide. Kedua, materialisme menolak hal-hal yang tidak kelihatan. Bagi materialisme, ada yang sesungguhnya adalah yang keberadaannya semata-mata bersifat material atau sama sekali tidak bergantung pada material. Jadi realitas sesungguhnya adalah alam kebendaan dan segala sesuatu yang mengatasi alam kebendaan itu haruslah dikesampingkan.[24]  Ketiga, dualisme mengajarkan bahwa substansi individual terdiri dari dua fundamental yang berbeda dan tak dapat direduksikan kepada yang lainnya. Kedua tipe fundamentalis dari substansional itu ialah material dan mental.[25] Dengan demikian dualisme mengakui bahwa realitas terdiri dari materi atau yang ada secara fisis dan mental atau yang beradanya tidak kelihatan secara fisis. Dualisme harus dibedakan dari monisme dan pluralisme. Monisme dan Pluralisme adalah teori tentang jumlah substansi dan bukan mempersoalkan tipe fundamental dari substansi itu.
 

Epistemologi


Istilah “epistemologi” berasal dari bahasa Yunani Kuno, dengan asal kata “episteme” yang berarti “pengetahuan” dan “logos” (kata, pikiran, percakapan atau ilmu), yang berarti “teori”. Secara etimologi, epistemologi berarti teori pengetahuan. Epistemologi membahas atau mengkaji tentang asal, struktur, metoda, serta keabsahan pengetahuan.[26] Jadi, epistemologi berarti kata, pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan.             Sedangkan, secara tradisional yang menjadi pokok persoalan epistemologi ialah sumber, asal-usul, sifat dasar pengetahuan; bidang, batas, dan jangkauan pengetahuan;  serta validitas dan reliabilitas (reability) dari berbagai klaim pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan dalam epistemologi adalah sebagai berikut:  Apa pengetahuan itu? Apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan itu? Apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman, atau akal budi? Apakah pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan?[27]
            Jika dikatakan bahwa seseorang mengetahui sesuatu, itu berarti ia memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu.  Dengan demikian, pengetahuan  adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang tentang sesuatu. Pengetahuan memiliki subyek yaitu yang mengetahui, karena tanpa ada yang mengetahui tidak mungkin ada pengetahuan. Jika ada subyek, pasti ada obyeknya, yakni sesuatu hal yang  seseorang ketahui atau dihendaki untuk diketahui.  
            Pengetahuan dibagi dalam tiga jenis yaitu: Pertama,  pengetahuan biasa (ordinary knowledge). Kedua, pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Ketiga, pengetahuan filsafat  (philosophical knowledge). [28] Berkaitan hal tersebut, maka sumber utama pengetahuan bisa bersumber  dari akal  budi atau rasio.[29]
           

Aksiologi


Secara etimologi, istilah “aksiologi” berasal dari bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti “nilai” dan kata “logos”  yang berarti “teori”. Aksiologi mempelajari nilai. Jadi, aksiologi adalah teori nilai yang membahas hekikat nilai, tipe nilai, kriteria nilai, dan status metafisika nilai.[30] Bagi Louis Kattsoff bahwa nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan dan sebagai obyek suatu kepentingan.[31] Meskipun begitu, nilai mempunyai macam makna sebagai berikut: (1) mengandung nilai (artinya, berguna); (2) merupakan nilai (artinya, “baik” atau “benar” atau “indah”); (3) mempunyai nilai (artinya, merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap “menyetujui”, atau mempunyai sifat nilai tertentu); (4) memberi nilai (artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu).[32]
Berkaitan dengan makna nilai, maka timbul beberapa pertanyaan: Apakah yang dinamakan nilai itu? Apakah yang menyebabkan bahwa suatu obyek atau perbuatan bernilai, dan bagaimanakah cara mengetahui? Bilamanakah sebutan nilai dapat diterapkan? Proses kejiwaan apakah yang tersangkut dalam tanggapan-tanggapan penilaian? Bagaimanakah cara menentukan makna-makna yang dikandungnya serta verifikasi yang dapat dilakukan terhadapnya?
 Nilai suatu obyek sangat dipengaruhi oleh nilai subyek yang ada.  Manusia memiliki nilai, sehingga nilai seseorang dari apa yang diungkapkan maupun dilakukan. Nilai-nilai sangat relative, tetapi ada nilai yang jauh lebih mutlak dan ditempat tinggi dibanding dengan nilai-nilai relative yang dibawah. Manusia berbuat baik karena mengetahui nilai yang ada pada dirinya. Pada aksiologi yang mengarah suatu kebaikan yang tertinggi berupa kebahagiaan dan cinta kasih Tuhan.[33]


PRAGMATISME PENDIDIKAN yang kontekstual

Pengertian Pragmatisme

Pragmatisme[34] merupakan sistem filsafat yang dibangun 100 tahun lalu  dipandang sebagai filsafat Amerika asli.  George F. Kneller mengatakan sebagai filsafat pribumi orang-orang Amerika.[35] Sebenarnya bahwa pragmatisme berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami.[36]
 Pragmatisme berasal dari akar kata bahasa Yunani, artinya “work”. Banyak definisi yang muncul, antara lain sebagai berikut: Pragmatisme adalah “a philosophy that encourages us to seek out the processes and do the things that work best to help us achieve desirable ends”.[37] William James mendefinisikan sebagai “the attitude of looking away from first things, principles, categoies, supposed necessities; and of looking towards last things, fruits, consequences, facts”.[38]  Sedangkan Charles S. Pierce mengatakan bahwa pragmatisme merupakan kesatuan kerja antara pikiran, perbuatan, dan intelek. Ia mengatakan: “pikiran itu hanya berguna bagi manusia apabila pikiran itu “bekerja” yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya. Fungsi berpikir tidak lain daripada membiasakan manusia untuk berbuat. Perasaan dan gerak jasmaniah (perbuatan) adalah manifestasi-manifestasi yang khas dari aktivitas manusia, dan kedua hal itu dapat dipisahkan dari kegiatan intelek (berpikir). Jika dipisahkan, perasaan dan perbuatan menjadi abstrak dan menyesatkan manusia.[39]
Berkaitan hal ini, George R. Knight mengatakan bahwa pragmatisme menekankan pada pengetahuan yang empiris, merubah dunia bersama persoalan-persoalannya, dan sifatnya sebagai  “all inclusive reality beyond which their faith in science would not allow them to go”.[40]

Realitas, Pengetahuan, dan Nilai
Ada beberapa hal yang menjadi puncak pemikiran pragmatisme adalah: realitas, pengetahuan dan nilai. “Realitas” merupakan interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Manusia dan lingkungannya berdampingan, dan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap realita.  Dunia akan bermakna sejauh manusia  mempelajari makna yang terkandung di dalamnya. Perubahan merupakan esensi realitas, dan manusia harus siap mengubah cara-cara yang akan dikerjakannya. Manusia pada hakekatnya plastis dan dapat berubah. “Pengetahuan”  merupakan akal manusia aktif dan selalu ingin meneliti, tidak pasif dan tidak begitu saja menerima pandangan tertentu yang belum dibuktikan kebenarannya secara empirirs. Pikiran (rasio) tidak bertentangan dan tidak terpisah dari dunia, melainkan merupakan bagian dari dunia. “Nilai”  itu relative. Keindahan-keindahan moral dan etik tidak tetap, melainkan harus berubah, seperti perubahan kebudayaan dan masyarakat. Pragmatis menyarankan untuk menguji kualias nilai dengan cara yang sama seperti seseorang menguji kebenaran pengetahuan dengan metode empiris.  Nilai moral maupun etis akan terlihat dari perbuatannya, bukan dari segi teorinya. Jadi pendekatan nilai adalah cara empiris berdasarkan pengalaman-pengalaman manusia, khususnya kehidupan sehari-hari.[41]  Berkaitan hal tersebut, maka George Kneller mengatakan ada empat point prinsip pragmatisme sebaga berikut: (1) the reaity of change, (2) the essentially social and biological nature of man, (3) the relativity of values, dan (4) the use of critical intelligence.[42]
Selanjutnya Redja Mudyahardjo menguraikan tentang filsafat pragmatisme mencakup sebagai berikut: pertama, metafisika dengan catatan: (1) Anti metafisika: suatu teori umum tentang kenyataan tidaklah mungkin dan juga tidak perlu. (2) Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan fisik. (3) Segala sesuatu dalam alam dan kehidupan adalah berubah. Hakikat segala sesuatu adalah perubahan itu sendiri. (4) Hidup adalah sebuah proses pembaharuan diri sendiri yang terus berlangsung dalam interaksinya dengan lingkungan. Kedua, adalah epistemology, mencakup: (a) Pengetahuan adalah relatif, dan terus berkembang. Pengetahuan yang benar diperoleh melalui pengalaman. (b) Karakteristik pengalaman adalah pengalaman pertama-tama merupakan peristiwa pasif-aktif, dan mengukuran nilai suatu pengalaman terletak pada persepsi hubungan-hubungan atau kontinuitas-kontinuitas yang menyebabkan pengalaman tersebut meningkat. (c) Pengetahuan yang benar adalah pengalaman yang berguna kehidupan. Ketiga, adalah aksiologi adalah ukuran tingkah laku perseorangan dan sosial ditentukan secara eksperimental dalam pengalaman-pengalaman hidup. Dengan demikian tidak ada nilai absolute.[43]

Kebenaran
Teori Pragmatisme (pragmatism theory) merupakan salah satu dari teori kebenaran.  Pragmatisme  berpendapat bahwa kebenaran tidak bisa bersesuaian dengan kenyataan, sebab seseorang hanya bisa mengetahui dari pengalamannya saja. Pragmatisme berpendirian bahwa mereka tidak mengetahui apapun (agnostik) tentang wujud, esensi, intelektualitas, dan rasionalitas. Oleh karena itu, pragmatisme menentang otoritarianisme, intelektualisme, dan rasionalisme. Penganut pragmatisme merupakan penganut empirisme yang fanatik untuk memberikan interpretasi terhadap pengalaman. Menurut pragmatisme, tidak ada kebenaran yang mutlak dan abadi. Kerbenaran ini dibuat dalam proses penyesuaian manusia.[44]  Schiller, pengikut pragmatisme di Inggris, mengemukakan bahwa kebenaran merupakan suatu bentuk nilai, artinya apabila seseorang menyatakan benar terhadap sesuatu, berarti ia memberikan penilaian terhadapnya. Istilah benar adalah suatu pernyataan yang berguna, sedangkan istilah salah merupakan pernyataan yang tidak berguna.[45]Ernest E. Bayles mengatakan kebenaran adalah “one  of the great concerns of man is to obtain insights that are true”[46] tetapi kebenaran harus diuji melalui interaksi dan melalui pengalaman.
 Teori Pragmatis tentang kebenaran mengatakan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika berdasarkan nilai manfaat dari pengetahuan atau kebenaran itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Contoh: orang perlu percaya kepada Yesus karena ada dampak dalam kehidupan. Yesus membuat mampu orang yang percaya menghadapi masalah secara berkemenangan.

Proses Pendidikan
Pemahaman-pemahaman pendidikan di atas, bagi pragmatisme, perlu melalui proses pendidikan dengan memperhatikan dua segi, yaitu: psikologi dan sosiologis. Dari segi psikologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti yang berpengaruh di Amerika, yaitu psikologis, pendidik harus mengetahui ke mana tenaga-tenaga itu harus dibimbingnya. Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga itu harus diabadikan pada kehidupan sosial, jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan adalah sosial dan sekolah adalah suatu lembaga sosial. Pendidikan adalah alat kebudayaan yang paling baik. Dengan pendidikan sebagai alat, manusia dapat menjadi “The Master, not the slaves of social as well as other kinds of natural change”.[47]

Kedudukan Pendidikan
Pragmatisme mempunyai model-model kedudukan pendidikan. Dewey melihat bahwa kedudukan pendidikan bisa dilihat dari berbagai model sebagai berikut:[48] Pertama, adalah education as a necessity of life. Pendidikan berorientasi kepada kebutuhan hidup anak didik. Kedua, education as a social fungstion.  Pendidikan menyiapkan anak didik dewasa hidup di tengah sosialnya. Ketiga, adalah  education as direction. Pendidikan mengarahkan pencapaian tujuan anak didik pada kehidupan masa depan yang telah direncanakan. Keempat, education as growth. Pendidikan mengarahkan anak didik menjadi bertumbuh dalam segala hal khusunya dalam aspek psikologis dan sosiologis.  Kelima, adalah education as preparation. Pendidikan membentuk karakter-karakater yang lemah menjadi kuat dan yang kuat menjadi berprestasi. Keenam, adalah  education as unfolding. Pendidikan yang menjadikan anak didik berkembang dengan sendirinya.  Ketujuh, adalah education as training of faculties. Pendidikan yang menyiapkan sumber daya staf. Kedelapan, adalah education as formation. Pendidikan yang membentuk  formasi yang dibutuhkan oleh tujuan pendidikan. Kesembilan, adalah education as recapitulation and retrospection. Pendidikan yang mengarhkan kepada pemikirna-pemikiran reflektif. Kesepuluh, adalah  education as reconstruction. Pendidika yang mengarahkan pembangunan kembali dasar-dasar yang dimaksud oleh tujuan pendidikan. Kesebelas, adalah education as national and as social. Pendidikan yang menyiapkan anak didik siap mandiri di tengah masyarakat atau sosialnya.

           
Proses  Pendidikan Pragmatisme

Proses pendidikan pragmatisme mencakup beberapa hal sebagai berikut: tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, metode pendidikan, pendidik dan anak didik.

Tujuan Pendidikan
Dewey dan paragmatist percaya bahwa “education is necessity of life”. Pendidikan bukan mempersiapkan seseorang untuk hidup tetapi ia sendiri adalah hidup.  Hidup anak-anak sebagai anak-anak dan hidup orang dewasa sebagai orang dewasa. Pendidikan membuat anak-anak hidup dalam lingkungannya  dan pendidikan orang dewasa membuat dirinya tertarik dan memotivasi lingkungannya. Tujuan pragmatisme menolong anak atau orang dewasa menguasai motivasi diri yang tinggi dan menaklukan lingkungannya. Dengan demikian bahwa pendidikan dapat menyelesaikan masalah-masalah lingkungan yang muncul menghadangnya. Pendidikan dapat melakukan transmitted dari generasi ke generasi melalui komunikasi lingkungan, aktifitas, pemikiran dan perasaan dari yang tua ke yang muda.[49] Sidney Hook merumuskan tujuan pendidikan adalah pendidikan untuk bertumbuh bersama dalam masyarakat demokrasi.[50]
William Heard mengatakan bahwa tujuan pendidikan: Pertama, adalah mempersiapkan kesempatan untuk hidup. Kedua, adalah mempersiapkan belajar berpengalaman. Ketiga, adalah mempersiapkan pertumbuhan karakter.[51] Sedangkan George R. Geiger  mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah “change in the experience and conduct of persons (chiefly, but not necessarily, young persons) engineered by an organized and conscious group – the oral implications are indeed staggering”.[52]
Dengan demikian bahwa pendidikan itu sangat penting karena elemen tujuan pendidikan ada beberapa point sebagai berikut: pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup, pendidikan sebagai pertumbuhan, dan pendidikan sebagai fungsi sosial. Karena itu, hendaklah tujuan pendidikan memperhatikan: Pertama, adalah ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan instrinsik anak dididk. Kedua, adalah harus mampu memunculkan suatu metode yang dapat mempersatukan aktivitas pengajaran yang sedang berlangsung. Ketiga, adalah spesifik dan langsung di mana pendidikan harus tetap menjaga untuk tidak mengatakan yang berkaitan dengan tujuan umum dan tujuan akhir.[53]
Dari pemikiran di atas dapat ditajamkan bahwa tujuan pendidikan pragmatisme adalah:  pertama, pendidikan adalah hidup, pertumbuhan sepanjang hidup, proses rekonstruksi yang berlangsung terus dari pengalaman yang terakumulasi dari sebuah proses sosial. Kedua, tujuan pendidikan adalah memperoleh pengalaman yang berguna untuk memecahkan masalah-masalah baru dalam kehidupan perorangan dan bermasyarakat. Ketiga, tujuan pendidikan tidak ditentukan dari luar kegiatan pendidikan, tetapi terdapat dalam setiap proses pendidikan. Oleh karena itu, tidak ada tujuan pendidikan umum pendidikan atau tujuan akhir pendidikan.

Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pragmatisme  menekankan pada pengalaman sosial. Kurikulum bukan berisi mengenai fakta-fakta, ide-ide atau isi pengetahuan, tetapi pengalaman yang berkelanjutan baik dalam kelas maupun di luar kelas.  Kurikulum selalu mengarah pada perubahan dan menjadi jalan pemecahan bagi perbagai persoalan hidup.[54]  Dewey mengatakan bahwa  kurikulum bergantung pada definisinya tentang pendidikan dan pandanganya tentang tujuan pendidikan. Istilah pendidikkan berkenan dengan proses pemberian “impulse” dan tujuannya adalah meningkatkan lembaga-lembaga yang membentuk masyarkat. Isi kurikulum adalah mata pelajaran-mata pelajaran yang memberikan “impulse” kepada anak didik. Isi tersebut meliputi managemen dan pelaksanaan perusahaan dan industri, IPS dan IPA, mata pelajaran liberal dan klasikal humanistik dan kesenian. Semua mata pelajaran diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan.[55]  Dengan demikian maka kurikulum mencakup sebagai berikut: pertama, kurikulum berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji serta minat-minat dan kebutuhan-kebutuhan anak didik. Hal terakhir yang menyebabkan perlunya sekolah membuat kurikulum darurat untuk memenuhi minat dan kebutuhan anak didik. Kedua. pendidikan umum yang menghilangkan pemisah antara pendidikan umum dan pendidikan praktis.
Kurikulum yang bagus adalah type “core curriculum” ialah sejumlah pengalaman belajar di sekitar kebutuhan umum. Oleh karena tidak adanya standar yang universal, maka kurikulum harus terbuka dari kemungkinan untuk dilakukan peninjauan dan penyempurnaan.[56] Karena itu, sifat kurikulum haruslah fleksibilitas. Dengan demikian, maka  kurukulum dapat membuka kemungkinan  bagi pendidikan untuk memperhatikan tiap anak didik dengan sifat-sifat dan kebutuhannya masing-masing. Selain ini semuanya diharapkan dapat sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Oleh karena sifat kurikulum yang tidak beku dan dapat direvisi ini, maka jenis yang memadai adalah kurikulum yang berpusat pada pengalaman. Jenis ini dilukiskan oleh Theodore Brameld sebagai kurikulum yang melepaskan semua garis penyekat mata pelajaran dan menekankan pada unit-unit.[57]

Metode Pendidikan
Metode pendidikan pragmatism adalah berpikir reflektif atau metode pemecahan masalah yang dihadapinya. Metode tersebut mempunyai langkah-langkah sebagai berikut: penyadaran suatu masalah, observasi kondisi-kondisi yang hadir,  perumusan dan elaborasi tetang suatu kesimpulan, dan  pengetesan melalui eksperimen. Berkaitan hal tersebut, Dewey mengatakan bahwa semua pendidikan yang sejati muncul melalui pengalaman. Meskipun begitu, maka tidaklah cukup untuk tetap bertahan pada perlunya pengalaman saja dan tidak juga pada perlunya aktivitas dalam pengalaman, tetapi segala sesuatu tergantung pada kualitas pengalaman yang dimiliki yang bersangkutan. Jadi, urusan pendidikan adalah mengatur jenis pengalaman yang, meski pengalaman itu tidak menarik anak didik, melibatkan aktivitas anak didik yang dirasakan, dan meningkatkan pengalaman pada masa depan yang diinginkan.[58]

Pendidik dan Anak Didik
Peranan pendidikan dan anak didik merupakan suatu hal sangat penting dalam proses pendidikan pragmatisme. Kegiatan tersebut sebagai berikut: pertama, adalah pendidik sebagai “research-project director” (the chairman of the board of directors of a learning industry).[59] Pendidik mengawasi dan membimbing pengalaman belajar tanpa terlampau banyak mencampuri urusan minat kebutuhan anak didik.Semua itu dikarenakan pendidik bukan pendidikan yang tradisional melainkan  dia tidak hanya  mengetahui yang anak didik butuhkan untuk masa depannya melainkan ia memberi pengetahuan dasar kepada anak didik  untuk melakukan perubahan.
Kedua, adalah anak didik adalah suatu organisasi yang rumit yang mampu tumbuh. George Knight  mengatakan bahwa  anak didik adalah seseorang yang mempunyai pengalaman secara individu yang mampu menggunakan intelektualnya dalam memecahkan berbagai persoalan.[60] Pengalaman itu diperoleh dalam pembelajaran kurikulum, lingkungan sekolah, merumuskan ide-ide dan merumuskan kebenaran yang diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari.  Penerapan pengalaman itulah proses kreatif yang terjadi dalam pembelajaran.[61]
Ketiga, adalah konsep pembelajaran dimulai dari ketertarikan anak didik terhadap sesuatu yang hendak dibelajarkannya. Sifat belajar adalah melakukan perubahan tingkahlaku sesuai dengan tujuan yang sudah ditentukan oleh anak didik. Belajar merupakan proses perubahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud atau yang sudah direncanakan oleh anak didik.[62]
Pendekatan-pendekatan Pengalaman

Pendekatan-pendekatan pengalaman dapat menolong berbagai persoalan pendidikan yang sering dihadapinya oleh kelompok-kelompok pluralism, growth, dan the use of intelligence. Pendekatan pengalaman dapat dilakukan dengan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, adalah meletakan konsep perubahan arti dan akhir dari pendidikan. Pendekatan pengalaman harus dapat melakukan perubahan dengan leluasa, tanpa diberi beban rintangan di dalamnya.
Kedua, adalah demokrasi pendidikan membuat pendidik tidak memandang anak didik adalah mempunyai posisi apa, sehingga pluralisme akan dapat bertumbuh bersama dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki setiap pembelajaran. Karena demokrasi pendidkan mengasumsikan bahwa semua laki-laki maupun semua perempuan adalah anak didik. Ernest E. Bayles mendefinisikan demokrasi adalah

 “equality of opportunity on the part of the members to participate in he establishment of whatever rules and regulations (or law) are deemed needful, and equality of obligation to abide by them until they are abolished or changed.”[63] 

Obyek demokrasi perlunya fokus terhadap: belajar berpikir, merefleksikan pemikiran diri sendiri,   merefleksikan pengajaran, dan mencari solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi.
Ketiga, memberi pemahaman arti bahwa pendidikan liberal yang dianut oleh pragmatisme adalah menolong anak didik berpikir bebas (terbuka), bukan berpikir dengan rasa takut karena ketidakcocokan pamahaman dengan pendidiknya atau lingkungannya. Di sini ada toleransi proses belajar-mengajar yang cukup tinggi antara pendidik dengan anak didik sehingga terjadi proses kreatifitas berpikir yang meluas dan tajam.[64]   

Kriteria Pengalaman
Dewey menekankan kriteria pengalaman sebagai berikut:[65] pertama, adalah kategori kesinambungan atau rangkaian kesinambungan pengalaman (experinal continuum). Prinsip ini dilibatkan karena ada usaha untuk memisahkan antara pengalaman yang secara edukatif bermanfaat dan yang tidak bermanfaat.  Prinsip ini bersandar pada fakta kebiasaan jika kebiasaan ditafsirkan secara biologis. Ciri dasar kebiasaan adalah setiap pengalaman yang dimainkan dan dialami mengubah orang yang bertindak dan mengalaminya, sedangkan perubahan itu mempengaruhi, entah seseorang inginkan atau tidak, kualitas pengalaman berikutnya. Prinsip ini membentukan sikap yang emosional dan intelektual.
Kedua, adalah  interaksi merupakan prinsip utama untuk menafsirkan pengalaman dalam fungsi dan daya pendidikan. Ia menetapkan hak-hak yang sama kepada kedua faktor dalam pengalaman – kondisi obyektif dan internal.  Pengalaman yang normal apa pun merupakan saling pengaruh dari kedua perangkat kondisi ini. Jika keduanya didekatkan, atau berada dalam interaski, keduanya membentuk apa yang dinamakan “situasi”. Interaksi sedang terjadi antara individu, benda, dan orang lain. Konsepsi tentang situasi dan interaksi tidak terjadi antara individu dan apa yang pada waktu itu merupakan lingkungan, apakah lingkungan itu terdiri atas orang dengan siapa dia sedang membicarakan topik atau kejadian tertentu.
Dua prinsip kontinuitas dan interaksi satu sama lain tidak terpisahkan. Boleh dikatakan bahwa mereka merupakan obyek pengalaman yang bersifat vertikal dan horizontal. Prinsip interaksi menjelaskan bahwa kegagalannya menyesuaikan materi dengan kebutuhan dan kapasitas individu dapat menyebabkan pengalaman menjadi sungguh tidak mendidik sebagaimana gagalnya individu beradaptasi dengan materi. Namun prinsip kontinuitas dalam aplikasi pendidikan mengandung arti bahwa masa depan harus diperhitungkan pada setiap tingkat proses pendidikan.


Pragmatisme Pendidikan dalam Konteks

Dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan bahwa menjalankan proses pendidikan perlu disesuaikan dengan konteksnya. Konteks maksudnya adalah budaya setempat – tradisi, adat,  dan produk budaya itu sendiri. Proses pendidikan yang mencakup: visi, tujuan pendidikan, kurikulum, proses belajar-mengajar, dan evaluasi  dirumuskan berdasarkan konteks budaya setempat. Memang secara teori tidaklah sulit tetapi untuk Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau dan tentunya banyak konteks budaya merupakan pekerjaan yang sangat sulit dan perlu ekstra memikirkan secara detail batasan-batasan budaya yang ada antara satu budaya dengan budaya yang lain.
Konteks budaya pun dapat dikembangkan dalam budaya perkotaan dengan berbagai pulau dan pedesaan dengan berbagai pulaunya, sehingga hasil dari perumusan pragmatisme menjadi berbeda-beda. Meskipun begitu bahwa dasar kurikulum  adalah standar untuk pendidikan di Indonesia. Jadi, penyesuaian konteks budaya inilah bagian dari sistem filsafat pragmatisme, tetapi yang terjadi kurikulum yang berlaku wajib diterapkan  100% dengan cross culture. Di sini peserta didik dipaksa untuk mengikuti kecerdasan kurikulum tanpa diberi kesempatan melakukan adaptasi budaya masing-masing.  Jadi, konteks budaya merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.

Konteks budaya tersebut dapat diterapkan dalam berbagai jenjang pendidikan (pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,  pendidikan menengah, dan jenjang pendidikan tinggi), jalur pendidikan (pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal), jenis pendidikan (pendidikan umum, pendidika kejuruan, dan  pendidikan akademik), pendidikan profesi, pendidikan vokasi, pendidikan keagamaan, dan pendidikan khusus. Dengan demikian, maka mencapaian kualitas pendidikan dapat diwujudkan. Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan -- khususnya di Indonesia -- yaitu: pertama,  adalah faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan. Kedua, adalah faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya. Pendidikan biasanya berawal pada saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia akan bisa (mengajar) bayi mereka sebelum kelahiran. Banyak orang yang lain, pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal. Seperti kata Mark Twain, "Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya." Karena itu, maka anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam -- sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka -- walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.


PENUTUPAN

Filsafat  pendidikan  berdasarkan pragmatisme adalah belajar dari pengalaman  konteks budaya di mana peserta didik lahir dan bertumbuh. Meskipun ada kurikulum standar tetapi pengembangan lainnya disesuaikan dengan konteks budaya di mana lembaga pendidikan itu berlangsung. Jadi, melihat visi, tujuan pendidikan, kurikulum, proses belajar-mengajar (termasuk peserta didik) berdasarkan kurikulum standar yang dikembangkan dalam konteks budaya peserta didik yang bersangkutan.
Bila lembaga tersebut berada di kota maka perlu disesuaikan dengan budaya kota dimana peserta didik hidup dalam proses pendidikan di sebuah lembaga atau kalau lembaga pendidikan berada di desa maka konteks budaya disesuaikan dengan keberadaan desa yang ada. Dengan demikian, maka akan lahir manusia-manusia pembelajar yang dewasa baik dalam ilmu maupun dalam budaya di mana ia berada.
Bila lembaga pendidikan tersebut diorientasikan pada keagamaan, maka tinggal dikembangkan secara ketat dan detail dasar-dasar spiritual dan aplikasinya pada konteks budaya setempat. Dengan demikian  akan lahirlah para pembelajar yang mempunyai kekuatan spiritual yang terpilih.

















DAFTAR PUSTAKA
Bayles, Ernest E. Pragmatism in Education. New York: Harper & Row, 1966.
Hook Sidney, in Education for Modern Man. New York: Knopf, 1963.
Kilpatrick, William Heard. In Education for a Changing Civilization. New York: Macmillan, 1927.
Soemanto, Wasty dan Hendyat Soetopo. Dasar & Teori Pendidikan Dunia Tantangan bagi Para Pemimpin Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional, 1982.  
Barnadib, Imam. Fisafat Pendidikan, Sistem dan Metode. Yogyakarta: Yasbit FIP IKIP Yogyakarta, 1987.
Brameld, Baca Theodore. The Pattern of Educational Philosophy. New York: The Mac. Milland Company, 1956.
Noddings, Nel. Philosophy of Education. USA: Westview Press, 1995.
Geiger, George R. An Experimentalist Approach to Education: Modern Philosophies and Education. ed. Nelson B. Henry, 1955.
Hamersma, Harry. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1981.
Sidjabat, B. Samuel. Strategi Pendidikan Kristen. Yogyakarta: Andi Offset, 1994.
Titus,  et.al., Persoalan-persoalan Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Van Peursen,  C. A. Orientasi di Alam Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1980.
Knight, George R. Issues and Alternatives in Educational Philosophy. Michigan: Andrews University Press,  1982.
Syam, Mohammad Noor. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1986.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung:  Remaja Rosda Karya, 2005.
Arifin H.M.  Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teori dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipline. Jakarta:Bina Aksara, 1993.
Purwanto, M. Ngalim. Ilmu Pendidikan: Teoritis dan Praktis. Bandung: Remadja Karya, 1988.
Mardiatmadja, B.S. Tantangan Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius, 1986.
Jalaluddin & Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Fislafat. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adicita, 2002.
Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2003.
Rune, Dagobert. Dictionary of  Philosophy. New Jersey: Litlefield Adams, 1963.
Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992.
Mudyahardjo, Redja. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung: Remadja Rosdakarya, 2001.
Kneller, George F. Introduction to the Philosophy of`Education. New York: John Wiley & Sons, Inc., 1971.
Butler, J. Donald. Four Philosophies. New York: Harper & Brothers Publisher, 1957.
Ozmon, Howard A. & Samuel M. Craver. Philosophical Foundations of Education. New Jersey: Prentice Hall, 1995. 
James, William. Pragmatism. New York: Longmans, 1907.
Iman, Muis Sad. Pendidikan Partisipatif. Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004.
Knight, George R. Philosophy and Education. Michigan: Andrews University Press, 1980.
Berbasis Pengalaman. Bandung: Teraju, 2004.





[1]Jack Terry, Education Philosophy, 112. 
[2]Nel Noddings, Philosophy of Education (USA: Westview Press, 1995)  31.
[3]George R. Geiger, “An Experimentalist Approach to Education”, Modern Philosophies and Education, ed. Nelson B. Henry (1955) 138.
[4]Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1981) 10.
[5]B. Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen (Yogyakarta: Andi Offset, 1994)  2.
[6]Titus,  et.al., Persoalan-persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) 7-9.
[7]C. A. van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1980) 10-11.
[8]Ibid. 11; baca juga ibid. 17.
[9]George R. Knight, Issues and Alternatives in Educational Philosophy (Michigan: Andrews University Press,  1982) 4-5. 
[10]Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila  (Surabaya: Usaha Nasional, 1986)24.
[11] Ibid.
[12]Dikutip oleh Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek (Bandung:  Remaja Rosda Karya, 2005) 14.
[13]Arifin H.M.,  Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teori dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipline (Jakarta:Bina Aksara, 1993) 2.
[14]M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan: Teoritis dan Praktis (Bandung: Remadja Karya, 1988) 1.
[15]B. Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen, 8.
[16]B.S. Mardiatmadja, Tantangan Dunia Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 1986) 19.
[17]M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan: Teoritis dan Praktis, 11. 
[18]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan  (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997) 14.
[19]Arifin H.M., Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teori dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipline, 1.
[20]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Fislafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996) 44.
[21]Ibid. 44
[22]Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Adicita, 2002) 16.
[23]Ibid. 45.
[24]Ibid.
[25]Ibid. 46.
[26]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan  (Bandung: Alfabeta, 2003) 29; baca juga Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, 16.   
[27]Jan Hendrik Rapar, Pengantar  Filsafat, 37.
[28]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 39.
[29]Ibid.39
[30]Dagobert Rune, Dictionary of  Philosophy (New Jersey: Litlefield Adams, 1963) 32.
[31]Baca Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992) 333-348.
[32]Ibid. 332.
[33]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan (Bandung: Remadja Rosdakarya, 2001) 232.
[34] Jack Terry, Education Philosophy, 111 mengatakan bahwa pragmatisme mempunyai banyak nama seperti:  “experimentalism”, “progressivism”, “instrumentalism”, bahkan “reconstructionism”.  Berkaitan ini,  Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan (Bandung: Rosdakarya, 2004) 235-240 mengatakan bahwa salah satu aliran filsafat pendidik dari beberapa aliran filsafat yang ada seperti: idealisme, realisme, scholastisisme, empirisme,  dan neopositivisme.
[35]George F. Kneller, Introduction to the Philosophy of`Education (New York: John Wiley & Sons, Inc., 1971)  13; baca juga J. Donald Butler, Four Philosophies (New York: Harper & Brothers Publisher, 1957) 417.
[36]Howard A. Ozmon & Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education (New Jersey: Prentice Hall, 1995) 121-170;  J. Donald Butler, Four Philosophies, 417-443; baca  juga Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: CV Alfabeta, 2003)  118 mengatakan bahwa pendiri filsafat pragmatisme di Amerika adalah Charles Sandre Peirce (1839-1914), William James (1842-1910), dan John Dewey (1859-1952). Ketiga filosof tersebut berbeda, baik dalam metodologi maupuan dalam kesimpulannya. Pragmatisme Pierce dilandasi oleh fisika dan matematika, filsafat Dewey dilandasi oleh sains-sains sosial dan biologi, sedangkan filsafat  James adalah personal, psikologis, dan bahkan mungkin religius. Tetapi sebenarnya, latarbelakang pragmatisme  dapat ditemukan hasil kerja dari: Francis Bacon (a new way of thinking), John Locke dan Jean-Jacques Rousseau (the centrality of Experience), Auguste Comte dan Charles Darwin dan (science and society). Sedangkan tokoh yang mempengharuhi semua itu para filosos Yunani mulanya seperti: Heraclitus dan The Sophists.
[37]Howard A. Ozmon & Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education,  121. Istilah lainnya yang dapat diberikan para filsafat pragmatisme adalah intrumentalisme dan eksperimentalisme. Disebut instrumentalisme, karena mengganggap bahwa dalam hidup ini tidak dikenal tujuan akhir, melainkan hanya tujuan berikutnya, termasuk dalam pendidikan tidak mengenal tujuan akhir. Dikatakan eksperimentalisme, karena filsafat ini menggunakan metode eksperimen dan berdasarkan atas pengalaman dalam menentukan kebenarannya.
[38] William James, Pragmatism (New York: Longmans, 1907) 54-55.
[39] Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004) 42.
[40]George R. Knight, Philosophy and Education (Michigan: Andrews University Press, 1980) 67-68.
[41]Baca Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan,119-123.
[42]George R. Knight, Philosophy and Education, 13.
[43]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan,235-237.
[44]Ibid. 35.
[45]Ibid. 35.
[46]Ernest E. Bayles, Pragmatism in Education (New York: Harper & Row, 1966) 42.
[47]Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif, 55.
[48]Ibid. 83-89.
[49]Howard A. Ozmon & Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education, 145-146.
[50] Baca Sidney Hook, in Education for Modern Man (New York: Knopf, 1963).
[51]William Heard Kilpatrick, In Education for a Changing Civilization (New York: Macmillan, 1927).
[52]George R. Geiger, “An Experimentalist Approach to Education”, 144.
[53]Ibid. 100.
[54]Jack Terry, Education Philosophy, 123.
[55] Wasty Soemanto dan Hendyat Soetopo,  Dasar & Teori Pendidikan Dunia Tantangan bagi Para Pemimpin Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1982) 121-125.
[56] Imam Barnadib, Fisafat Pendidikan, Sistem dan Metode (Yogyakarta: Yasbit FIP IKIP Yogyakarta, 1987) 29.
[57]Baca Theodore Brameld, The Pattern of Educational Philosophy (New York: The Mac. Milland Company, 1956).
[58]John Dewey, Experience and Education: Pendidikan Berbasis Pengalaman (Bandung: Teraju, 2004) 10,12.
[59]Jack Terry, Education Philosophy, 123.
[60]George R. Knight, Philosophy and Education, 73.
[61]Jack Terry, Education Philosophy, 122.
[62]Ernest E. Bayles, Pragmatism in Education, 21.
[63]Ernest E. Bayles, Pragmatism in Education, 69.
[64]George R. Geiger, “An Experimentalist Approach to Education”, 149-153.
[65]Baca  John Dewey, Experience and Education, 19-33.