Rabu, 24 Juni 2015

BIODATA


Harianto GP adalah pengamat pendidikan dan pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Bethany  Surabaya.


Biodata Harianto GP

Dr. Harianto GP, adalah seorang motivator, penceramah dan pengajar mengenai pendidikan. Ia bukan saja doktor pendidikan tetapi juga seorang menulis banyak buku pengenai pendidikan.
Ia  adalah alumnus  (Drs.) Jurusan Jurnalistik Institut Ilmu Politik Jakarta, (M.A.) Komunikasi dari Institut Alkitab Tiranus Bandung, (M.Div.) Sekolah Tinggi Alkitab Bandung, (M.Th.) International   Theology Seminary, Los Angeles, USA, alumnus Haggai Institute di Maui, Hawai, USA. Ia juga  alumni Magister  Pendidikan  (M.Pd.K.),  (Dr.)  pendidikan dari STBI di Semarang dan (Dr.) Teologi dari Institut Teologi Injil Batu, Jawa Timur. 
Sekarang, ia melayani sebagai  dosen dan Ketua  STT Bethany, pendiri dan ketua  STT Bandung Literature and Bible Studies,  yang kini berubah menjadi STT Kalam Mulia di Bandung. Ketua Bidang Pendidikan PASTI  (Persekutuan Antar Sekolah Tinggi dan Theologia Injili) di Indonesia periode  1997-2011. Ia juga konsultan Pendidikan di YBPPK Pirngadi (PG/TK, SD, SMP dan SMA Kristen Pirngadi Surabaya).

Pendidikan Figur Keteladanan

Oleh Harianto GP

Proses pendidikan  di antara guru dan anak didik mulai menuai gugatan dari orangtuanya. Para orangtua  mulai menggugat karena anaknya mengalami “pelecehan seks” (paedofil)  atau bullying di lembaga pendidikan tersebut. Guru yang “digugu lan ditiru” tidak mampu memberi keteladan hidup  terhadap anak didik justru guru menjadi “momok” yang menekan anak didiknya.  
Fenomena tersebut terjadinya:  Pertama,   kasus-kasus “paedofil”  di Jakarta Internasional School, Emon (Sukabumi), Samai dan Sodikin (Tegal), Bali dan Batam.  Dari hasil Studi PSKK UGM yang dimulai pada 2001 menunjukkan selama kurun waktu delapan tahun (1996-2004) terdapat 25 paedofil asal Amerika Serikat, Australia, Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda yang beroperasi di Bali.  Selanjutnya bahwa tercatat bahwa sepanjang tahun 2013 Komnas Perlindungan Anak menerima 3.023 pengaduan kasus kekerasan anak. Jumlah tersebut mengalami peningkatan hingga 60 %  dibanding tahun sebelumnya yang hanya 1.383 kasus. Dari jumlah tersebut 58 % merupakan kasus kejahatan seksual pada anak.
Kedua,  sistem hukum maupun kebijakan di Indonesia belum bisa memberikan perlindungan terhadap anak dari berbagai tindak kekerasan dan ekspolitasi. Karena itu Rabu (14/5)  Pemerintah telah mengadakan pertemuan dengan berbagai kalangan pakar termasuk pendidik  yang  membicarakan sanksi kasus paedofil.  Pemerintah berjanji mengeluarkan Perpu terhadap hal tersebut.
Ketiga,  kejahatan terhadap anak-anak  telah terjadi di semua belahan dunia. Pendidikan Singapura misalnya, diguncang skandal seksual yang melibatkan guru perempuan berusia 32 tahun dan anak didik laki-laki berusia 15 tahun. Singapura juga diguncang kasus penggelapan uang universitas, tindakan cabul, penggunaan narkoba dan skandal seks dengan anak didik. Paling tidak sudah 10 kasus diproses pengadilan tahun ini. Di Amerika Utara, sekitar 15% - 25% wanita dan 5%-15% pria yang mengalami pelecehan seksual saat mereka masih anak-anak. Sebagian besar pelaku pelecahan seksual adalah orang yang dikenal oleh korban mereka adalah:  30% adalah keluarga dari si anak, paling sering adalah saudara laki-laki, ayah, paman, atau sepupu; 60% adalah kenalan lainnya seperti: teman dari keluarga, pengasuh, atau tetangga, orang asing; dan  10% adalah pelanggaran dalam kasus penyalahgunaan seksual anak. Sepanjang  tahun 2011, di Eropa ditangkap 184 anggota yang diduga keluar dari 670 orang yang diidentifikasi dari lingkaran paedofil dengan melibatkan 230 anak-anak sebagai korban.
Hancurnya Moral dan Prestasi Anak Bangsa
Membangun bangsa berarti juga mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya” (Tujuan Pendidikan Nasional).  Semuannya itu dimulai dari dini adalah menyiapkan anak sejak kecil menuju manusia seutuhnya. Tetapi kenyataan di lapangan,  saya melihat bila persoalan kejahatan terhadap anak-anak tidak segera diatasi maka akan menghancukan peradaban bangsa ini. Telah terjadi pengerusakan integritas moral dan prestasi belajar anak-anak bangsa. Hasil studi yang dilakukan National Youth Violence Prevention Resource Center Sanders (2009) menunjukkan bahwa bullying dapat membuat remaja merasa cemas dan ketakutan, mempengaruhi konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun mereka untuk menghindari sekolah. Bila bullying berlanjut dalam jangka waktu yang lama, dapat mempengaruhi self-esteem anak didik, meningkatkan isolasi sosial, memunculkan perilaku menarik diri, menjadikan remaja rentan terhadap stress dan depreasi, serta rasa tidak aman. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrim, bullying dapat mengakibatkan remaja berbuat nekat dan bisa membunuh atau melakukan bunuh diri (commited suicide). Dengan demikian konsentrasi belajar terganggu dan para anak didik terhalang untuk berprestasi.
Penelitian Banks (1993-2009) menunjukkan bahwa perilaku bullying berkontribusi terhadap rendahnya tingkat kehadiran, rendahnya prestasi akademik anak didik, rendahnya self-esteem, tingginya depresi, tingginya kenakalan remaja dan kejahatan orang dewasa. Dampak negatif bullying juga tampak pada penurunan skor tes kecerdasan (IQ) dan kemampuan analisis anak didik. Berbagai penelitian juga menunjukkan hubungan antara bullying dengan meningkatnya depresi dan agresi.

Evaluasi Prestasi Moral
Terjadinya pengerusakan moral dan prestasi belajar anak-anak bangsa tidaklah tepat bila disalahkan pada lembaga pendidikan atau guru tetapi persoalan ada pada moral guru itu sendiri dan moral pelaku di luar guru – yang mereka cenderung  gaya hidupnya abmoral.  Bagi saya adalah:  Pertama, lembaga pendidikan termasuk guru tetap merupakan pelaku utama yang tidak dapat ditolak untuk mendidik anak-anak kita. Meski akibat dari kejahatan terhadap anak-anak membuat  kepercayaan orangtua anak didik terhadap fungsi lembaga pendidikan tersebut jadi semakin merosot itu adalah tantangan meningkatkan kualitas pendidikan. Lingkungan pendidikan belum optimal mampu untuk melahirkan moral dan prestasi belajar anak-anak  bangsa ini sehingga semakin sulit berharap akan lahirnya para pemimpin yang dapat menjadi teladan bagi rakyatnya.
Kedua, guru bukanlah menjadi penghalang pertumbuh anak tetapi guru menyiapkan anak untuk mampu melanjutkan jenjang pendidikan anak yang lebih tinggi lagi. Guru memang mempunyai tugas yang mulia. Guru menjadi sangat penting bagi pendidikan peradaban bangsa ini. Karena itu justru guru wajib memberantas penyebab seseorang menjadi paedofil  atau kejahatan lainnya terhadap anak didik. Berkaitan hal ini sebuah studi yang didanai oleh USA National Institute of Drug Abuse menemukan bahwa "Di antara lebih dari 1.400 perempuan dewasa, pelecehan seksual masa kanak-kanak terkait dengan ketergantungan obat terlarang, alkohol dan gangguan kejiwaan. Rasio keterkaitan itu sangat menyolok: misalnya, perempuan yang mengalami pelecehan seksual non kelamin pada masa kecil 2,83 kali lebih besar ketergantungan obat ketika dewasa dibandingkan dengan perempuan normal." Dengan demikian guru juga bertanggung jawab terhadap anak didiknya  untuk tidak terlibat menjadi pemakai dan pecandu obat terlarang (alkohol).
            Ketiga, UU No.14 Tahun 2005  menyebutkan beberapa persyaratan menjadi guru adalah: memiliki kualifikasi akademik (S1 Pendidikan), mempunyai kompetensi, mempunyai sertifikat pendidik serta sehat jasmani-rohani  dan mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.  Tetapi bagi saya semua itu perlu ditambah persyaratan “evaluasi prestasi moral (social) kehidupan seorang guru”.  Dengan latar mengetahui belakang prestasi moral (sosial yang baik) maka ia dapat menjalankan tugas sebagai guru secara optimal. 

Pendidikan Figur Keteladanan
Membangun peradaban bangsa ini dibutuhkan pendidikan figur keteladanan sebagai “Role Model”. Sebenarnya pendidikan peradaban bangsa memang sudah diselesaikan dengan pendidikan berkarakter moral. Seorang yang berkarakter berarti seseorang memiliki adalah:  Personal Improvement, Social Skill, dan Comprehensive Problem Solving.  Dengan demikian bahwa pendidikan berkarakter moral sebagai proses transfer pengetahuan, perasaan, penentuan sikap dan tindakan terhadap fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal sehingga peserta didik mempunyai kepribadian yang berintegritas tinggi terhadap nilai atau aturan tersebut dan mampu melakukan hubungan sosial yang harmonis tanpa mengesampingkan nilai atau aturan yang ia junjung tinggi tersebut. Tetapi  “karakter moral” tersebut perlu dilanjutkan dalam muatan mata pelajaran baik di sekolah dasar hingga perguruan tinggi dengan penekankan Pendidikan Figur Keteladanan sebagai Role Model.
Pendidikan berkarakter moral memerlukan figur keteladanan sebagai role model untuk menegakkan nilai atau aturan yang telah disepakati bersama. Di sinilah peran pendidik khususnya guru, orang tua, masyarakat dan pemerintah sebagai figur teladan agar peserta didik mampu melakukan imitasi terhadap perilaku moral. Jadi  persoalan-persoalan kejahatan sekolah tidak cukup ditangani oleh persyaratan menjadi seorang guru, tetapi juga melihatkan lembaga pendidikan itu sendiri, orangtua, masyarakat dan pemerintah. Integrasi di antara semua itu perlu merumuskan Standard  Operating  Procedure (SOP) yang dikomandoi oleh Pemerintah. ***