Oleh Harianto GP
Proses
pendidikan di antara guru dan anak didik mulai menuai
gugatan dari orangtuanya. Para orangtua
mulai menggugat karena anaknya mengalami “pelecehan seks” (paedofil) atau bullying
di lembaga pendidikan tersebut. Guru yang “digugu lan ditiru” tidak mampu
memberi keteladan hidup terhadap anak
didik justru guru menjadi “momok” yang menekan anak didiknya.
Fenomena
tersebut terjadinya: Pertama,
kasus-kasus “paedofil” di Jakarta
Internasional School, Emon (Sukabumi), Samai dan Sodikin (Tegal), Bali dan Batam.
Dari hasil Studi PSKK UGM yang dimulai
pada 2001 menunjukkan selama kurun waktu delapan tahun (1996-2004) terdapat 25
paedofil asal Amerika Serikat, Australia, Inggris, Jerman, Perancis, dan
Belanda yang beroperasi di Bali. Selanjutnya bahwa tercatat bahwa sepanjang tahun 2013 Komnas Perlindungan
Anak menerima 3.023 pengaduan kasus kekerasan anak. Jumlah tersebut mengalami
peningkatan hingga 60 % dibanding tahun
sebelumnya yang hanya 1.383 kasus. Dari jumlah tersebut 58 % merupakan kasus
kejahatan seksual pada anak.
Kedua, sistem hukum maupun kebijakan di
Indonesia belum bisa memberikan perlindungan terhadap anak dari berbagai tindak
kekerasan dan ekspolitasi. Karena itu Rabu (14/5) Pemerintah telah mengadakan pertemuan dengan berbagai
kalangan pakar termasuk pendidik yang membicarakan sanksi kasus paedofil. Pemerintah berjanji mengeluarkan Perpu
terhadap hal tersebut.
Ketiga, kejahatan terhadap anak-anak telah terjadi di semua belahan dunia.
Pendidikan Singapura misalnya, diguncang skandal seksual yang melibatkan guru
perempuan berusia 32 tahun dan anak didik laki-laki berusia 15 tahun. Singapura juga diguncang kasus penggelapan uang universitas,
tindakan cabul, penggunaan narkoba dan skandal seks dengan anak didik. Paling
tidak sudah 10 kasus diproses pengadilan tahun ini. Di Amerika Utara, sekitar 15% - 25% wanita dan 5%-15% pria yang mengalami pelecehan
seksual saat mereka masih anak-anak. Sebagian besar pelaku pelecahan seksual
adalah orang yang dikenal oleh korban mereka adalah: 30% adalah keluarga dari si anak, paling
sering adalah saudara laki-laki, ayah, paman, atau sepupu; 60% adalah kenalan
lainnya seperti: teman dari keluarga, pengasuh, atau tetangga, orang asing; dan
10% adalah pelanggaran dalam kasus
penyalahgunaan seksual anak. Sepanjang
tahun 2011, di Eropa ditangkap 184 anggota yang diduga keluar dari 670
orang yang diidentifikasi dari lingkaran paedofil dengan melibatkan 230
anak-anak sebagai korban.
Hancurnya Moral dan Prestasi
Anak Bangsa
Membangun bangsa berarti juga “mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya”
(Tujuan Pendidikan Nasional). Semuannya itu dimulai dari dini adalah menyiapkan anak sejak
kecil menuju manusia seutuhnya. Tetapi kenyataan di lapangan, saya melihat bila persoalan kejahatan terhadap
anak-anak tidak segera diatasi maka akan menghancukan peradaban bangsa ini. Telah
terjadi pengerusakan integritas moral dan prestasi belajar anak-anak bangsa. Hasil studi yang dilakukan National Youth Violence
Prevention Resource Center Sanders (2009) menunjukkan bahwa bullying dapat membuat remaja merasa
cemas dan ketakutan, mempengaruhi konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun
mereka untuk menghindari sekolah. Bila bullying
berlanjut dalam jangka waktu yang lama, dapat mempengaruhi self-esteem anak didik, meningkatkan isolasi sosial, memunculkan
perilaku menarik diri, menjadikan remaja rentan terhadap stress dan depreasi,
serta rasa tidak aman. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrim, bullying dapat mengakibatkan remaja
berbuat nekat dan bisa membunuh atau melakukan bunuh diri (commited suicide). Dengan demikian konsentrasi belajar terganggu
dan para anak didik terhalang untuk berprestasi.
Penelitian Banks (1993-2009)
menunjukkan bahwa perilaku bullying
berkontribusi terhadap rendahnya tingkat kehadiran, rendahnya prestasi akademik
anak didik, rendahnya self-esteem,
tingginya depresi, tingginya kenakalan remaja dan kejahatan orang dewasa.
Dampak negatif bullying juga tampak
pada penurunan skor tes kecerdasan (IQ) dan kemampuan analisis anak didik.
Berbagai penelitian juga menunjukkan hubungan antara bullying dengan meningkatnya depresi dan agresi.
Evaluasi Prestasi
Moral
Terjadinya
pengerusakan moral dan prestasi belajar anak-anak bangsa tidaklah tepat bila
disalahkan pada lembaga pendidikan atau guru tetapi persoalan ada pada moral
guru itu sendiri dan moral pelaku di luar guru – yang mereka cenderung gaya hidupnya abmoral. Bagi saya
adalah: Pertama, lembaga pendidikan termasuk guru tetap merupakan pelaku
utama yang tidak dapat ditolak untuk mendidik anak-anak kita. Meski akibat dari
kejahatan terhadap anak-anak membuat kepercayaan orangtua anak didik terhadap fungsi
lembaga pendidikan tersebut jadi semakin merosot itu adalah tantangan
meningkatkan kualitas pendidikan. Lingkungan pendidikan belum optimal mampu
untuk melahirkan moral dan prestasi belajar anak-anak bangsa ini sehingga semakin sulit berharap
akan lahirnya para pemimpin yang dapat menjadi teladan bagi rakyatnya.
Kedua, guru
bukanlah menjadi penghalang pertumbuh anak tetapi guru menyiapkan anak untuk
mampu melanjutkan jenjang pendidikan anak yang lebih tinggi lagi. Guru memang
mempunyai tugas yang mulia. Guru menjadi sangat penting bagi pendidikan
peradaban bangsa ini. Karena itu justru guru wajib memberantas penyebab
seseorang menjadi paedofil atau
kejahatan lainnya terhadap anak didik. Berkaitan hal ini sebuah studi yang didanai oleh USA
National Institute of Drug Abuse menemukan bahwa "Di antara lebih dari 1.400 perempuan
dewasa, pelecehan seksual masa kanak-kanak terkait dengan ketergantungan obat
terlarang, alkohol dan gangguan kejiwaan. Rasio keterkaitan itu sangat menyolok:
misalnya, perempuan yang mengalami pelecehan seksual non kelamin pada masa
kecil 2,83 kali lebih besar ketergantungan obat ketika dewasa dibandingkan
dengan perempuan normal." Dengan demikian
guru juga bertanggung jawab terhadap anak didiknya untuk tidak terlibat menjadi pemakai dan
pecandu obat terlarang (alkohol).
Ketiga, UU No.14 Tahun 2005 menyebutkan beberapa persyaratan menjadi guru
adalah: memiliki kualifikasi akademik (S1 Pendidikan), mempunyai kompetensi,
mempunyai sertifikat pendidik serta sehat jasmani-rohani dan mempunyai kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. Tetapi bagi
saya semua itu perlu ditambah persyaratan “evaluasi
prestasi moral (social) kehidupan seorang guru”. Dengan latar mengetahui belakang prestasi moral
(sosial yang baik) maka ia dapat menjalankan tugas sebagai guru secara
optimal.
Pendidikan Figur Keteladanan
Membangun
peradaban bangsa ini dibutuhkan pendidikan figur keteladanan sebagai “Role
Model”. Sebenarnya pendidikan peradaban bangsa memang sudah diselesaikan dengan
pendidikan berkarakter moral. Seorang yang berkarakter berarti seseorang
memiliki adalah: Personal Improvement,
Social Skill, dan Comprehensive Problem Solving. Dengan demikian bahwa pendidikan berkarakter
moral sebagai proses transfer pengetahuan, perasaan, penentuan sikap
dan tindakan terhadap fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal sehingga
peserta didik mempunyai kepribadian yang berintegritas tinggi terhadap nilai
atau aturan tersebut dan mampu melakukan hubungan sosial yang harmonis tanpa
mengesampingkan nilai atau aturan yang ia junjung tinggi tersebut. Tetapi “karakter moral” tersebut perlu dilanjutkan
dalam muatan mata pelajaran baik di sekolah dasar hingga perguruan tinggi dengan
penekankan Pendidikan Figur Keteladanan sebagai Role Model.
Pendidikan
berkarakter moral memerlukan figur keteladanan sebagai role model
untuk menegakkan nilai atau aturan yang telah disepakati bersama. Di sinilah
peran pendidik khususnya guru, orang tua, masyarakat dan pemerintah sebagai
figur teladan agar peserta didik mampu melakukan imitasi terhadap perilaku
moral. Jadi persoalan-persoalan
kejahatan sekolah tidak cukup ditangani oleh persyaratan menjadi seorang guru,
tetapi juga melihatkan lembaga pendidikan itu sendiri, orangtua, masyarakat dan
pemerintah. Integrasi di antara semua itu perlu merumuskan Standard Operating Procedure (SOP) yang dikomandoi oleh
Pemerintah. ***