Jumat, 26 Juni 2015

Pendidikan National yang Ragu-ragu

Oleh Harianto GP

Tahun 2013 di negeri Indonesia tercinta memberlakukan “Kurikulum 2013” yang menekankan pada pendidikan Karakter. Pendidikan tersebut sebenarnya sudah dikumandangkan pada  tahun 2011 oleh Presiden  Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan Hardiknas-Harkitnas. Bapak Presiden menegaskan bahwa ”ke depan kita menginginkan muncul dan berkembangnya manusia-manusia Indonesia yang unggul. Mengapa Indonesia memerlukan manusia-manusia unggul? Karena kita sebagai bangsa, di abad ke-21, ingin menjadi negara maju”.  Dalam hal ini, ada  dua hal tentang keunggulan manusia (human excellent) adalah: pertama, keunggulan dalam pemikiran; dan kedua, keunggulan dalam karakter. Kedua jenis keunggulan manusia itu dapat dibangun, dibentuk, dan dikembangkan melalui pendidikan karakter. 
Sekarang kalangan akademisi dan masyarakat  resah: mau dibawa kemana pendidikan nasional? Bagaimanakah pendidikan karakter dapat menjawab tujuan pendidikan nasional? Bagaimanakah bisa bahwa para alumninya menjadi pemimpin bangsa: yang anti korupsi, anti suap, politikus yang tidak merugikan Negara, pengusaha yang jujur, dan para profesional yang setia dengan sumpahnya? 

Kurikulum yang Ragu-ragu

Kurikulum yang berhasil adalah kurikulum yang diterapkan dalam waktu yang  sesuai dengan lamanya sebuah proses pendidikan.  Kalau proses pendidikan kualitas bangsa itu dihitung dari SD hingga Strata Satu adalah 20 tahun. Itulah lamanya melahirkan manusia-manusia unggulan di negeri ini.  Jadi kurikulum yang diterapkan di negeri ini mestinya berlangsung hingga 20 tahun tanpa ada perubahan-perubahan yang signifikan. Tetapi di negeri ini, sejarah kurikulum yang selalu berubah dan berakibat terpuruknya kualitas anak bangsa.
Misalnya dari tahun 1947 adalah kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional dengan asas pendidikan Pancasila, lalu tahun 1960 diganti dengan  “Kurikulum Kewajiban Belajar Sekolah Dasar”. Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Kurikulum 1964, yang berfokus pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya dan moral (Pancawardhana). Tahun 1968 muncul kurikulum baru menekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Kurikulum 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama.
Pada tahun 1970 muncul “Kurikulum Berhitung” tetapi tahun 1975 diganti dengan “Kurikulum 1975″ yang menekankan pada pelajaran matematika, Pendidikan Moral Pancasila dan Pendidikan Kewarnegaraan.  Selanjutnya, tahun 1984 menyempurnakan Kurikulum 1975 dengan “Cara Belajar Siswa Aktif” (CBSA).  Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Tahun 1991 CBSA dihentikan lalu muncul “Kurikulum 1994″ dan “Suplemen Kurikulum 1999”. Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan antara Kurikulum 1975, Kurikulum 1984 dalam pendekatan proses. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999.
Tahun 2004 dikenal “Kurikulum Berbasis Kompetensi” (KBK). Setiap pelajaran diuraikan berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. Tahun 2006 muncul “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan” (KTSP). Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada.
Tahun 2013 merupakan uji coba “Kurikulum Karakter” yang akan diterapkan di sekolah-sekolah. Sebenarnya pemahaman  dan pelaksanaan tentang pendidikan berbasis karakter sudah dicanangkan dalam KTSP.

Alumni yang “Ragu-ragukah”?

Dalam Pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” (Pasal 31 ayat 3). Pada dasarnya tujuan pendidikan nasional berkaitan dengan up-grade manusia menjadi manusia yang seutuhnya baik dalam perspektif metafisika, kognitif maupun psikomotoris. Design pendidikan nasional adalah pendidikan manusia yang merubah manusia menjadi yang mampu berkarya dan menyelesaikan segala tantangan yang di hadapannya.
Tetapi di lapangan ditemukan bahwa kurikulum tidak diselesaikan dalam waktu proses pendidikan yang benar dan selalu dirubah-rubah maka tujuan pendidikan nasional tidak pernah terwujud. Sejak Indonesia merdeka, 67 tahun, kurikulum nasional tidak mempunyai alumni yang sesuai standar tujuan nasional. Kurikulum yang selalu berubah-rubah cenderung melahirkan para ahli yang tidak siap menjawab kebutuhan lapangan. Gambaran bahwa banyak lulusan SMU sederajat hingga sarjana sederajat dalam posisi menganggur dan kalau mereka bekerja cenderung bekerja dengan latar belakang akademiknya yang berbeda. Sungguh kualitas SDM yang memprihatinkan. Gambaran para alumni yang ragu-ragu inilah dapat dilihat dan dirasakan di seluruh kehidupan pelosok Indonesia. Jika dibandingkan dengan Jepang, Korea, Pilipina, Malaysia, bahkan India, kualitas SDM Indonesia masih tertinggal. Sementara tuntutan globalisasi cukup tinggi di mana kita tidak hanya membutuhkan sumber daya manusia dengan latar belakang pendidikan formal yang baik, tetapi juga diperlukan sumber daya manusia yang mempunyai latar belakang pendidikan non formal.

Pendidikan Masa Depan
Meskipun  ruang lingkup mengenai materinya berbeda antara pendidikan karakter dan pendidikan kemanusiaan, tetapi mempunyai keterkaitan yang signifikan. Karena itu Saya setuju dengan pendapat professor Edgar Morin. Tahun 2005 ia diminta oleh Unescco untuk melempar isu pendidikan yang diadakan lima tahun sekali oleh Unessco. Morin dalam bukunya “Tujuh Materi Penting bagi Dunia Pendidikan” (Yogyakarta: Kanisius, 2005) mengatakan bahwa pendidikan masa depan harus menjadi pendidikan universal, yang pertama-tama mengajarkan tentang kondisi manusiawi. Semua orang harus menerima dirinya dengan kemanusiaannya yang wajar dan menyadari keragaman budaya yang melekat dalam segala sesuatu yang manusiawi. Cara mewujudkannya, menurut Morin, adalah dilakukan dari waktu ke waktu  secara menyeluruh: Pertama,  pendidikan berperan sebagai transformasi sejati di mana akan tercapai jika semua itu saling mentransformasi hingga menghasilkan sebuah transformasi global. Kedua, tuntutan kesatuan seluas dunia. Kesatuan ini mensyaratkan kesadaran dan rasa saling memiliki yang menghubungkan kita dengan bumi kita, kampung halaman kita yang pertama dan terutama. Ketiga, misi spiritual pendidikan yang sejati adalah  mengajarkan untuk memahami satu sama lain sebagai suatu syarat yang sangat dibutuhkan dalam melindungi moral kemanusiaan dan solidaritas intelektual.

Jadi,  sebenarnya dunia sudah pembahas dan menerapkan isu-isu pendidikan karakter ini lebih dari 10 tahun ke belakang dan kita hendak memulai tahun depan. Ya, lebih baik terlambat daripada belum memikirkan apalagi melakukannya. ***