Tahun 2013 di
negeri Indonesia tercinta memberlakukan “Kurikulum 2013” yang menekankan pada pendidikan
Karakter. Pendidikan tersebut sebenarnya sudah dikumandangkan pada tahun
2011 oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam peringatan Hardiknas-Harkitnas. Bapak Presiden menegaskan bahwa
”ke depan kita menginginkan muncul dan berkembangnya manusia-manusia Indonesia
yang unggul. Mengapa Indonesia memerlukan manusia-manusia unggul? Karena kita
sebagai bangsa, di abad ke-21, ingin menjadi negara maju”. Dalam hal ini, ada dua hal tentang keunggulan manusia (human
excellent) adalah: pertama,
keunggulan dalam pemikiran; dan kedua, keunggulan dalam karakter. Kedua
jenis keunggulan manusia itu dapat dibangun, dibentuk, dan dikembangkan melalui
pendidikan karakter.
Sekarang kalangan
akademisi dan masyarakat resah: mau
dibawa kemana pendidikan nasional? Bagaimanakah pendidikan karakter dapat
menjawab tujuan pendidikan nasional? Bagaimanakah bisa bahwa para alumninya menjadi
pemimpin bangsa: yang anti korupsi, anti suap, politikus yang tidak
merugikan Negara, pengusaha yang jujur, dan para profesional yang setia dengan
sumpahnya?
Kurikulum yang Ragu-ragu
Kurikulum yang berhasil adalah kurikulum yang
diterapkan dalam waktu yang sesuai
dengan lamanya sebuah proses pendidikan. Kalau proses pendidikan kualitas bangsa itu
dihitung dari SD hingga Strata Satu adalah 20 tahun. Itulah lamanya melahirkan
manusia-manusia unggulan di negeri ini. Jadi kurikulum yang diterapkan di negeri ini
mestinya berlangsung hingga 20 tahun tanpa ada perubahan-perubahan yang
signifikan. Tetapi di negeri ini, sejarah kurikulum yang selalu berubah dan berakibat
terpuruknya kualitas anak bangsa.
Misalnya dari tahun 1947 adalah kurikulum pertama yang
lahir pada masa kemerdekaan bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda
ke kepentingan nasional dengan asas pendidikan Pancasila, lalu tahun 1960 diganti
dengan “Kurikulum Kewajiban Belajar Sekolah
Dasar”. Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Kurikulum 1964, yang berfokus
pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya dan moral (Pancawardhana). Tahun
1968 muncul kurikulum baru menekankan pada upaya untuk membentuk manusia
Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan
keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Kelahiran
Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Kurikulum 1964 yang dicitrakan
sebagai produk Orde Lama.
Pada
tahun 1970 muncul “Kurikulum Berhitung” tetapi tahun 1975 diganti dengan
“Kurikulum 1975″ yang menekankan pada pelajaran matematika, Pendidikan Moral
Pancasila dan Pendidikan Kewarnegaraan. Selanjutnya,
tahun 1984 menyempurnakan Kurikulum 1975 dengan “Cara Belajar Siswa Aktif”
(CBSA). Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Tahun 1991 CBSA
dihentikan lalu muncul “Kurikulum 1994″ dan “Suplemen Kurikulum 1999”. Kurikulum
1994 bergulir lebih pada upaya memadukan antara Kurikulum 1975, Kurikulum 1984
dalam pendekatan proses. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran
Suplemen Kurikulum 1999.
Tahun 2013 merupakan uji coba
“Kurikulum Karakter” yang akan diterapkan di sekolah-sekolah. Sebenarnya pemahaman
dan pelaksanaan tentang pendidikan berbasis karakter sudah dicanangkan
dalam KTSP.
Alumni yang “Ragu-ragukah”?
Dalam Pembukaan UUD 1945 dikatakan
bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” (Pasal 31 ayat
3). Pada dasarnya tujuan pendidikan nasional berkaitan dengan up-grade manusia menjadi manusia yang
seutuhnya baik dalam perspektif metafisika,
kognitif maupun psikomotoris.
Design pendidikan nasional adalah pendidikan manusia yang merubah manusia
menjadi yang mampu berkarya dan menyelesaikan segala tantangan yang di hadapannya.
Tetapi
di lapangan ditemukan bahwa kurikulum tidak diselesaikan dalam waktu proses
pendidikan yang benar dan selalu dirubah-rubah maka tujuan pendidikan nasional
tidak pernah terwujud. Sejak Indonesia merdeka, 67 tahun, kurikulum nasional
tidak mempunyai alumni yang sesuai standar tujuan nasional. Kurikulum yang
selalu berubah-rubah cenderung melahirkan para ahli yang tidak siap menjawab
kebutuhan lapangan. Gambaran bahwa banyak lulusan SMU sederajat hingga sarjana
sederajat dalam posisi menganggur dan kalau mereka bekerja cenderung bekerja
dengan latar belakang akademiknya yang berbeda. Sungguh kualitas SDM yang
memprihatinkan. Gambaran para alumni yang ragu-ragu inilah dapat dilihat dan
dirasakan di seluruh kehidupan pelosok Indonesia. Jika dibandingkan dengan Jepang,
Korea, Pilipina, Malaysia, bahkan India, kualitas SDM Indonesia masih
tertinggal. Sementara tuntutan globalisasi cukup tinggi di mana kita tidak
hanya membutuhkan sumber daya manusia dengan latar belakang pendidikan formal
yang baik, tetapi juga diperlukan sumber daya manusia yang mempunyai latar
belakang pendidikan non formal.
Pendidikan Masa Depan
Meskipun ruang lingkup mengenai materinya berbeda
antara pendidikan karakter dan pendidikan kemanusiaan, tetapi mempunyai
keterkaitan yang signifikan. Karena itu Saya setuju dengan pendapat professor
Edgar Morin. Tahun 2005 ia diminta oleh Unescco untuk melempar isu pendidikan
yang diadakan lima tahun sekali oleh Unessco. Morin dalam bukunya “Tujuh Materi Penting bagi Dunia Pendidikan”
(Yogyakarta: Kanisius, 2005) mengatakan bahwa pendidikan masa depan harus menjadi pendidikan
universal, yang pertama-tama mengajarkan tentang kondisi manusiawi. Semua orang
harus menerima dirinya dengan kemanusiaannya yang wajar dan menyadari keragaman
budaya yang melekat dalam segala sesuatu yang manusiawi. Cara mewujudkannya,
menurut Morin, adalah dilakukan dari waktu ke waktu secara menyeluruh: Pertama, pendidikan berperan
sebagai transformasi sejati di mana akan tercapai jika semua itu saling
mentransformasi hingga menghasilkan sebuah transformasi global. Kedua, tuntutan kesatuan seluas dunia.
Kesatuan ini mensyaratkan kesadaran dan rasa saling memiliki yang menghubungkan
kita dengan bumi kita, kampung halaman kita yang pertama dan terutama. Ketiga, misi spiritual pendidikan yang
sejati adalah mengajarkan untuk memahami
satu sama lain sebagai suatu syarat yang sangat dibutuhkan dalam melindungi
moral kemanusiaan dan solidaritas intelektual.
Jadi, sebenarnya
dunia sudah pembahas dan menerapkan isu-isu pendidikan karakter ini lebih dari
10 tahun ke belakang dan kita hendak memulai tahun depan. Ya, lebih baik
terlambat daripada belum memikirkan apalagi melakukannya. ***